BAB 28: First Hesitate

399 46 8
                                    

Ada ribuan, bahkan jutaan alasan untuk seorang Caca menjadikan hari Senin, tanggal 10 Oktober, tahun 2016, sebagai hari bersejarah dalam hidupnya. Bukan dalam arti yang bagus, karena rasanya hanya kesialan yang gadis itu dapatkan hari ini.

Pagi tadi, ketika ia pergi ke kantor menggunakan ojek online, tiba-tiba saja ban motor yang ia tumpangi pecah di jalan. Oh, ya, sekarang Caca sudah menjadi karyawan magang di salah satu perusahaan e-commerce yang cukup besar di Jakarta. Semua mata kuliahnya sudah selesai, dan kesibukannya sebagai mahasiswa semester akhir hanya mengerjakan skripsi, maka ia memutuskan untuk bekerja. Toh, dengan magang di perusahaan itu, bisa membantu Caca mendapatkan data yang ia butuhkan untuk skripsinya, juga mencari pengalaman kerja.

Tidak selesai hanya ketika ban motor pecah, namun insiden tersebut mengharuskan Caca untuk memesan ojek online lain. Sayangnya, sulit memesan ojek atau taksi online ketika hujan yang deras mengguyur kota Jakarta sampai jalan raya berubah menjadi sungai dalam hitungan menit. Namun, dengan kemeja putihnya yang kusut dan rambut yang keburu lepek karena air hujan, akhirnya ia sampai juga di kantor dengan selamat, diantar oleh taksi online, meskipun terlambat satu jam.

Ini minggu keduanya sebagai karyawan magang. Gadis itu belum menempati jabatan tertentu karena posisinya masih fleksibel, mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan. Kali ini Caca diberikan tugas untuk menganalisis strategi pemasaran dari pesaing, dan mempresentasikannya hari ini saat rapat, untuk membantu tim menggali ide baru terkait branding perusahaan. Apakah gadis itu mengerjakan tugasnya dengan baik? Tentu saja. Apakah presentasinya berjalan lancar? Tidak. Semua materi yang ia kerjakan telah disimpan di dalam flashdisk yang ia tinggalkan di meja belajarnya. Alhasil, rapat diundur, dan ia harus mendapat 'petuah' dari atasannya.

Sepulang dari kantor, Caca tidak langsung pulang ke rumah. Gadis itu pergi menuju kampusnya untuk bimbingan skripsi. Kebetulan hari ini dosen pembimbingnya mengajar satu mata kuliah di kelas malam, sehingga Caca bisa menemuinya setelah beliau selesai mengajar. Bimbingannya pun kurang berjalan lancar, mungkin karena otak Caca dan Pak Andi, dosennya, sudah terkuras habis karena kesibukan yang mereka jalani hari ini.

"Udah hampir tiga bulan, Mar, dua bab aja nggak kelar-kelar," kata Pak Andi setelah duduk di ruangannya dan mengenakan kacamata untuk membaca draft skripsi milik Mar, Marisa Vaneta.

Setelah duduk di hadapan sang dosen, ia menghela napas pelan sambil tersenyum tipis. Ya gimana mau kelar kalo hari ini bilang oke, tapi besoknya bilang harus ganti, dumel Caca dalam hati. Perasaannya makin tidak tenang ketika Pak Andi membaca halaman Bab 1 dengan alis bertaut.

“Ini kok kayak ada yang kurang gitu.” Benar, 'kan? Padahal saat bimbingan sebelumnya, beliau berkata Bab 1 tidak perlu direvisi lagi, hanya Bab 2 saja.

“Kurang di mana, Pak?” Gadis itu menahan nada suaranya agar terdengar tetap sopan.

Pak Andi hanya diam, tampak berpikir. “Nggak tau, ya, saya kurang sreg gitu sama kalimat latar belakangnya.”

“Bagian yang mana, Pak, yang kurang?” Asal tahu saja, bagian latar belakang yang Caca buat ada lima paragraf. Itu pun seluruh isi kepalanya sudah dituangkan di sana.

“Nggak tau juga,” jawab Pak Andi, masih berkutat dengan draft skripsi di tangannya.

Terus, gua harus revisi apaan? Ingin rasanya Caca berteriak seperti itu. Namun yang keluar di mulutnya adalah, “Jadi, baiknya saya ubah gimana, ya, Pak?”

“Diubah dikit aja. Ditambahin apaaa gitu.”

Ya apa? Dikirain gua cenayang apa? Gadis itu masih menatap dosennya, berharap beliau menjelaskan secara rinci bagian yang menurutnya kurang sreg tadi. Namun, Pak Andi justru mengangkat wajah, tersenyum, dan menyerahkan draft tersebut kepada Caca.

Kisah Satu Dekade [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang