Sudut bibir Sean otomatis tertarik ke atas ketika Caca berlari kecil menghampirinya dengan raut wajah serupa dengannya, di lobby hotel tempat Caca menginap. Kedua orang itu terlihat sumringah, sama-sama lupa akan rasa kantuk akibat tidak bisa tidur semalaman, menunggu datangnya pagi ini.
"Ada request mau makan apa pagi ini?" tanya Sean begitu Caca berhenti di hadapannya.
"Jajanan food truck aja yuk."
"Boleh. Lo nggak lagi diet 'kan?"
"Nggak. Kenapa?"
"Gua mau ngajak lo kulineran dulu sampe puas, terus kita main."
"Main? Main apa?"
"Ada deh. Ke tempat yang adem-adem. Soalnya kalo summer gini 'kan udaranya panas."
Caca menurut dengan senang hati. Lantas, Sean membawanya ke sebuah truk makanan yang menyediakan menu sarapan yang lokasinya tidak begitu jauh dari hotel, sebagai tempat pertama dalam daftar wisata kuliner mereka hari ini. Laki-laki itu memesan toasted bagel, sementara Caca memilih croissant, dan keduanya sepakat melengkapi sarapan mereka dengan segelas kopi ukuran sedang. Setelahnya, mereka mencicipi berbagai jajanan makanan menurut rekomendasi Sean sebagai tuan rumah seperti, grilled kielbasa yang merupakan makanan khas Polandia, jerk chicken ala Jamaika, tacos terenak versi Sean, sampai ke kacang panggang berbalut madu yang cukup terkenal di New York.
"Udah ya, stop dulu. Perut gua udah mau meledak," protes Caca ketika Sean mengajaknya mencicipi burger dengan beef patty yang tebal dan pastinya lezat.
Sean terkekeh melihat Caca mengelus perutnya yang kencang dan ikut duduk bersama gadis itu di sebuah halte bus. "Dulu juga makan lo lebih banyak dari ini. Inget nggak, lo abis makan nasi padang, terus makan mie ayam lagi dua porsi, terus—"
"Lo mah yang diinget cuma aib doang," sela Caca sambil memukul lengan Sean yang semakin terbahak melihat wajah manyun gadis itu. Namun, meskipun ia memasang wajah demikian, jauh di dalam hatinya terasa hangat karena masih ada sesuatu yang Sean ingat tentang dirinya. Eh, maksud Caca adalah, bukankah hal seperti mengingat kelakuan unik teman lama selama bertahun-bertahun adalah sesuatu yang mengharukan?
"Kalo gitu, berarti sekarang waktunya kita main."
—
Apa yang ada di pikiran kalian ketika Sean berkata akan mengajak Caca ke tempat yang 'adem-adem'? Gadis itu tidak pernah mengira bahwa Sean akan mengajaknya ke sebuah arena seluncur es yang berlokasi di Chelsea Piers. Sekarang ia mengerti alasan laki-laki itu pagi-pagi buta mengirimkan pesan agar Caca mengenakan sweater dan celana panjang untuk hari ini, bukan supaya kulitnya tak terbakar matahari, namun karena ini.
"Yang lo maksud adem-adem tuh main ice skating?"
Sebuah anggukan puas dilakukan Sean ketika melihat mata gadis di sebelahnya membeliak tak percaya.
"Tapi, gua nggak pernah main ice skating, Sean."
"Bagus. Lo bisa cobain hal baru hari ini." Sean lekas menggandeng tangan gadis itu untuk masuk ke dalam, seolah perbuatannya itu adalah sesuatu yang biasa. Tanpa ia sadari, pemilik tangan yang ia genggam, sedang sibuk mengatur napasnya.
Sean sudah siap dengan sepatu skating dan sarung tangan yang dikenakannya. Ia menoleh ke sebelah kirinya, memperhatikan Caca yang masih mengikat tali sepatu skating miliknya. Jujur saja, rasanya masih tidak dapat dipercaya bahwa gadis itu ada di dekatnya, bahkan sejak beberapa jam lalu ikut mencoba makanan-makanan yang selama ini dinikmati Sean seorang diri, atau beberapa kali bersama Felly.
Laki-laki itu berjongkok di hadapan Caca, membantunya mengencangkan tali sepatu. "Kalo main ice skating, iket tali sepatunya harus kenceng biar nggak susah pas meluncur nanti," jelasnya sementara gadis itu hanya memperhatikan.
"Yuk." Sean bangkit dan mengulurkan tangan pada Caca setelah kegiatannya selesai, yang kemudian disambut oleh gadis itu.
Mereka berdua mulai berjalan masuk ke dalam arena, masih dengan sebelah tangan yang saling bertaut. Arena seluncur es yang luas itu telah terisi oleh beberapa pengunjung. Tidak terlalu ramai, tapi tidak bisa dibilang sepi juga. Hal itu membuat Caca gugup saat menjejakkan kakinya di atas es yang tampak licin.
Sean meraih tangan Caca yang bebas dan mulai menuntun gadis itu untuk menyeimbangkan tubuhnya dan meluncur sedikit demi sedikit. "Lo jangan lepasin gua ya. 'Kan malu kalo jatuh diliatin orang," ucap Caca sambil melihat jejakkan kakinya yang belum stabil.
"Gua nggak bakal lepasin lo."
Perhatian gadis itu sontak berpindah dari sepatunya ke laki-laki yang sekarang sedang menatap lurus ke dalam kedua matanya. Pembicaraan mereka masih dalam konteks yang sama 'kan? Namun kenapa seolah-olah—ah, tidak.
Dengan sabar Sean membimbing gadis itu sampai bisa meluncur tanpa berpegangan. Ketika Caca merasa sudah cukup hebat menurut penilaiannya sendiri, sebuah ide terlintas di kepalanya. "Lomba yuk, yang bisa sampe duluan ke ujung sana ditraktir es krim sama yang kalah."
"Ye, nantangin pelatihnya. Ayo, siapa takut?"
Rencananya begitu. Tapi kenyataannya, setelah setengah jam berlalu, tidak satupun dari mereka yang sampai di garis finish yang disepakati. Selama meluncur, mereka saling menyikut, menepis satu sama lain agar tak didahului, kemudian keduanya jatuh terduduk, dan tertawa-tawa sampai perut dan pipi mereka terasa pegal. Begitu terus berulang-ulang. Sebuah kebahagiaan yang hilang selama beberapa tahun, tanpa benar-benar mereka sadari kini terbit kembali sampai meluap di dalam sebuah arena seluncur es.
Puas bermain, Caca mentraktir es krim sebagai ucapan terima kasih karena sudah diajak berkeliling oleh laki-laki itu. Kemudian, mereka berdua menuju destinasi selanjutnya, tempat favorit Sean, Isham Park. Sebuah tempat yang dijuluki sebagai taman rahasia karena tidak banyak orang yang berkunjung ke sini. Tempat yang jarang sekali didatangi oleh turis, kebanyakan orang lokal. Makanya taman ini sangat cocok untuk mereka yang sedang ingin menenangkan diri, atau mengisi waktu dengan membaca buku karena suasananya sangat tenang. Beruntungnya, di musim panas seperti ini, berbagai macam bunga bermekaran, menambah esensi apik pada Isham Park.
Sean dan Caca duduk di salah satu pohon besar nan rindang, ditemani semilir angin yang menimbulkan suara gemerisik dari dedaunan dan membawa aroma rerumputan masuk ke indera penciuman mereka.
"Gua suka ke sini pas lagi pusing soal kerjaan, atau lagi cari inspirasi buat desain."
Kepala Caca menoleh ke arah Sean yang sedang memejamkan matanya, menghirup napas dalam-dalam, sambil tersenyum. Senyum yang pernah Caca sebut lucu, seperti anak kecil. Diam-diam, maniknya menelusuri tiap inci wajah Sean dari samping. Secara keseluruhan, wajah laki-laki itu tidak banyak berubah, selain garis rahangnya yang lebih tegas dan wajah yang lebih berisi dari sejak terakhir mereka bertemu.
Sean membuka matanya perlahan karena tidak mendengar respon gadis itu. Ia menengok dan menangkap basah Caca sedang memandanginya. Sean merasakan jantungnya berdesir saat mata mereka bertemu. Ia tak lagi mendengar suara daun-daun saling bergesekan atau cuitan burung di udara, selain denyut jantungnya sendiri. Lalu, bagai tersihir, tubuhnya seakan bergerak di luar kendali ketika lambat-lambat Sean melabuhkan sebuah kecupan pada bibir merah muda gadis itu. Debaran di jantungnya makin menggila ketika sadar bahwa Caca tidak menolak. Dengan lancang, ia membuka mulutnya sedikit, meraup dan menggerakkan lidahnya untuk membelai bibir ranum itu.
Mungkin karena terbawa suasana hati yang senang. Mungkin karena udara yang sejuk. Mungkin karena rasa mint dari es krim yang dimakan Sean masih membekas di bibir laki-laki itu. Caca melakukan hal yang sama untuk membalas perbuatan Sean, dengan mata terpejam sempurna. Dalam dan sungguh-sungguh. Dengan cara seperti itu, mereka melampiaskan rindu yang sudah menggunung, yang tak sempat tersampaikan bertahun-tahun lamanya.
Pikiran keduanya tak lagi bekerja, bahkan untuk sekadar memastikan sesuatu yang sederhana namun krusial seperti, apakah mereka masih melajang atau sedang menjalin hubungan asmara dengan orang lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Satu Dekade [END]
General FictionSetiap pertemuan, akan ada perpisahan. Setiap perpisahan pun ada peluang untuk bertemu kembali. Lantas, bagaimana dengan cerita antara Sean dan Caca? Haruskah mereka menunggu pertemuan berikutnya untuk melanjutkan kisah yang telah ada, atau memulai...