"Kamu menunggu di situ dari tadi? Padahal PBM berlangsung?" Agaknya intonasi suara King terdengar tak percaya. Kapela nekat membolos dan mondar-mandir layaknya setrika di depan klub, menunggu mereka kembali.
Gadis manis berkuncir dua itu menyengir. "Aku tidak bolos atau apa pun itu, Kak King. Sumpah. Kebetulan saja gurunya tidak datang. Daripada berkeliaran di kantin mending di sini."
Bagaimana sekarang? Apa Kapela serius bersungguh-sungguh? King mendadak selektif untuk urusan ini karena tidak mau lagi berkenalan dengan sosok inkonsisten seperti dua member sebelumnya. Tak bosan-bosannya King mengingat aib mereka.
Tapi si anak baru bernama Kapela terlihat tak bercanda. Haruskah King memberinya kesempatan? Bagaimana jika dia sama saja dengan Saho dan Gari? Ini mulai meresahkan.
Bersimpati terhadap tampang kusut King, Aiden menghela napas pendek, bersedekap. Dia akan memakai metode magang sama halnya dengan (alasan) Watson dulu. "Baiklah, kami akan beri kamu waktu tiga hari. Kalau kinerjamu bagus, maka kami pertimbangkan pendaftaranmu. Bagaimana?"
"Asyik!" Kapela melompat senang. "Jadi, jadi, apa kasus kita sekarang? Menilik dari ucapannya, Pak Chalawan pasti menyuruh kalian menyelidiki sesuatu, kan? Aku mau bantu!"
Mereka segera berdiskusi di dalam.
Ada yang aneh dengan Kapela. Masa dia berbinar-binar melihat gambar laut berdarah? Itu bisa jadi terkontaminasi darah manusia lho. Apa dia tidak takut atau tak nyaman 'gitu?
"Apa ini darah betulan?" Hellen menggaruk kepala. Karena tercampur dengan air laut, warna merahnya tidak lagi pekat.
Aiden menggeleng tidak tahu. Mereka tidak bisa langsung mengkonfirmasi warna pada laut di foto tersebut adalah darah. Mereka perlu memastikannya sebelum membuat kesimpulan.
"Kalau iya, itu berarti ada yang melempar mayat manusia ke sini dong? Bukankah itu keren??" Kapela sibuk dengan pemikirannya yang agak miring.
Lunduls menjelaskan bahwa dia tengah berlibur ke pulau pribadi menjelang pemilu. Ketika malam tiba, lautan biru mengalami perubahan warna. Awalnya dia mengira hal itu terjadi karena zat kimia yang dibuang ke laut dan ulah suatu industri, namun nyatanya tidak. Akibatnya serius sekali. Ikan-ikan dan hewan laut mati. Cairan merah ini bisa jadi sebuah racun mematikan. Lunduls sudah menunggu empat hari di sana dan tidak ada tanda-tanda air merah itu menghilang.
Seorang reporter yang terkenal akan berita validitasnya, memata-matai kegiatan Lunduls dan menerbitkan artikel dia melakukan hal keji, yaitu membunuh, lantas membuang jasadnya ke laut. Massa menjadi heboh dan satu per satu mulai mengulik masa lalu Lunduls kemudian mendapat fakta bahwa dia pernah berselisih paham dengan seorang anggota partai dan kebetulan sosok itu dikabarkan menghilang. Hal ini membuat Lunduls dicurigai melakukan tindak kriminal.
"Reporter lagi, reporter lagi. Aku seharusnya bisa menebaknya. Kenapa untuk yang beginian mereka sangat bersemangat? Aku bersumpah takkan sudi menjadi reporter besar nanti. Pekerjaan yang ikh bukan aku banget." King menggerutu.
"Ya namanya cari uang, King. Mereka rela melakukan apa pun."
"Beliau masih calon gubernur, tapi sudah punya pulau pribadi? Bukankah beliau ini kaya? Menarik! Menarik! Dunia misteri benar-benar menyenangkan!" Ini satu lagi. Kapela memancarkan aura semangat perjuangan.
Aiden dan Hellen saling tatap. Celetukan tak berfaedah Kapela ada benarnya. Mempunyai pulau pribadi bahkan sebelum mendapat gelar, itu artinya finansial Lunduls berjibun. Lalu untuk apa beliau mendaftar jadi gubernur?
Mengerti mimik wajah Aiden, jari-jari Hellen lincah mengetik tombol-tombol laptop, menekan enter. "Kamu benar. Beliau membelinya. Lihat, ini fotonya bersama supervisor."
Mereka mengintip layar laptop.
"Beliau pasti punya perusahaan sukses." Kapela berseru.
"Sepertinya Pak Lunduls menyembunyikan sesuatu. Bahkan menyewa pulau pribadi sudah sangat mahal, namun beliau punya sertifikat pemilik. Harganya lima kali lipat."
"Kenapa Buk Aiden tahu detail?" King memicingkan mata.
"Keluargaku pernah menyewa pulau dan harganya 800 dolar. Karena kepalang tanggung, mamaku pun membelinya dengan harga 5 juta dolar. Kapan-kapan deh aku ajak kalian liburan ke sana. Tunggu Dan pulang dulu. Jeremy juga."
Hening sejenak.
Ah, harusnya mereka tahu betapa kayanya gadis itu dan King bodoh masih saja menanyakannya. Tentu saja keluarga Aiden punya pulau pribadi. Keuangan mereka berlimpah ruah.
"Kok aku merasa sesak tiba-tiba, ya?" Kapela tertawa simpul.
"Kamu tidak sendiri, La. Aku juga merasa demikian," kata Hellen. Berteman lama dengan Aiden belum membuatnya terbiasa akan kekayaan Gadis Penata Rambut itu.
"Tidak usah merendah. Ayahmu pemilik rumah sakit."
Tak terima diledek, Hellen membalas, "Harusnya itu kalimatku. Rumahmu seperti kediaman Duke yang di Berlin."
"Itu bukan rumahku. Itu rumah buatan Pak Chalawan. Lagian, kenapa Buk Hellen tahu aku pernah tinggal di Berlin?! Kamu stalker??"
"Kamu yang bilang saat kasus Jeremy!"
"Tapi kan waktu itu Buk Hellen lagi rehabilitasi! Kok bisa tahu?!"
"Ayo gelut! Aku tak suka kerukunan!" Kapela memanasi.
Kenapa mereka jadi meributkan kekayaan? Inti percakapan ini kan bukan tentang uang. Malah makin meleber ke mana-mana. Aiden menepuk dahi. "Sudahlah, lupakan masalah itu. Kita harus mulai menginvestigasi. Hari ini kita cari catatan tertulis saja dulu. Besok tunggu arahan Pak Lunduls."
"Siap, Buk Kepala."
-
Di suatu restoran pada lantai VIP, berkumpul tiga orang yang asyik bersulang sambil tertawa.
Makanan-makanan tertata mewah di meja bundar. Tak lupa wanita penghibur, alkohol mahal, musik klasik yang mendukung suasana, dan sebagainya. Mereka bertiga menikmati momen tersebut dengan rileks.
"Tampaknya dia sudah putus asa sampai meminta tolong pada anak-anak. Jiwa kompetitifnya menghilang, hahaha! Tahu rasa dia sekarang. Seharusnya dia mundur sejak dulu."
"Ekspresinya sangat menghibur."
Salah satu dari mereka yang tak lain tak bukan saingannya Lunduls, calon gubernur di posisi kedua, Darasas Durmindin, menuangkan segelas minuman keras ke ketua perkumpulan itu. "Sekali saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada Anda, Pak. Anda menyelamatkan karier saya."
"Jangan sungkan, Dara. Bukankah kita ini saudara? Kamu telah membantu putraku. Sudah sepatutnya aku membalas budi."
"Hahaha! Anda memang orang yang baik, Pak. Saya tidak menyesal mengabdi pada Anda. Ide Anda mempermainkan Lunduls juga sangat brilian. Profesi jaksa selaras untuk Anda."
"Kamu terlalu memuji, Dara."
Yang satunya berhenti meneguk alkohol. "Tapi, apakah benar berita itu? Lunduls membunuh wanita dari suatu partai? Atau itu hanya karangan Anda, Pak?"
"Jika hanya karangan semata, lantas kemanakah wanita yang menghilang itu? Hahaha, Anda sungguh genius mampu menemukan kebenaran yang disembunyikan Lunduls, Pak. Saya sangat menghormati sosok Anda."
"Tidak, tidak. Yang dia katakan benar."
Dahi Darasas terlipat. "Maksud Anda?"
"Tentang wanita itu memang hanya buah pikiranku saja. Kalau massa mendapatkan kejadian sebenarnya, maka kamu akan jatuh. Kita akan jatuh bersama. Oleh karena itu, aku berani menjamin takkan ada orang mengetahuinya. Jangan khawatir, bocah-bocah ingusan itu akan menyerah." Beliau tersenyum culas, mengangkat gelas sampanye. "Demi persahabatan kita."
"Demi persahabatan kita. Bersulang!"
Sayang sekali, tuan-tuan yang terhormat. Di akhir permainan kalian lah yang akan kalah. Sebab bahaya yang harusnya kalian khawatirkan bukanlah klub detektif Madoka. (*)
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Detective Moufrobi : Animals Crisis
Mystery / ThrillerBUKU KEDUA dari 'Kisah Watson' {WARNING: It is advisable to read the first book!} Watson pulang ke kota asalnya, New York. Hal itu meninggalkan jejak kentara bahwa Klub Detektif Madoka kekurangan orang. Tapi tidak mengapa, tak ada kejadian serius ya...