Klub detektif Madoka berhasil kabur dari Bar Sarhana setelah terus berlari sepuluh menit, menjauh dari jangkauan kejaran para pengawal. Mereka berhenti di sebuah jembatan.
Yang tadi itu benar-benar di luar rencana. Siapa sih yang bisa menebak Hellen membawa pistol dan nekat menodong Lydia. Bagai strategi di dalam strategi. Sebuah plan yang dirahasiakan. Apa benar Hellen yang bersama mereka itu sama dengan Hellen tahun lalu? Dia berubah drastis.
Jeremy menatap Watson prihatin. Sedari mereka memutuskan istirahat di jembatan, napas detektif pemurung itu masih lah berantakan.
"Kapasitas paru-parumu sangat menyedihkan."
"Jangan menyamakan aku dengan orang penggila otot sepertimu, Bari. Itu menjengkelkan."
"Kalau kamu mau, aku bisa kok mengajarimu beberapa teknik gelut. Hitung-hitung utang budi atas kasus kakakku," kata Jeremy percaya diri.
"Tidak usah. Aku tidak mau." Watson tak berminat dan enggan berurusan dengan hal-hal merepotkan yang membebani fisiknya. Dia lebih suka menyelesaikan sesuatu dengan berpikir.
Hellen melipat tangan ke dada. "Kalau kamu begitu terus, bagaimana cara kamu membela diri nantinya satu versus satu dengan penjahat?"
"Sebagai dalang mengapa aku berakhir kelelahan begini, kamu terlihat cukup santai ya, Stern."
Lagian, sudah belasan kali Watson berhadapan dengan para pelaku kriminal di New York. Instingnya untuk bertahan hidup terasah alami. Selama mentalnya kuat, maka dia baik-baik saja.
Aiden menolehkan kepalanya ke Hellen, menghela napas singkat. "Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu tiba-tiba menodong pistol ke wanita itu? Makin ruwet kalau kita sampai tertangkap."
"Itu hanya mainan." Hellen mengedikkan bahu.
"Meski itu mainan, setidaknya beritahu kami dulu dong. Kami kan jadi ikut senam jantung."
Penyebab mengapa Hellen bertindak di luar tebakan adalah tingkah Lydia terhadap Jeremy. Hellen menatapnya. Cowok itu sibuk membantu Watson mengatur napas bersama Saho. Tangannya terkepal. Brengsek! Berani-beraninya.
"Dan, sudah mendingan?" tanya Aiden khawatir.
Watson mengangguk. Wajahnya merah. Duh, rasanya jiwanya nyaris lepas dari raga. Sejak TK dia sangat payah dalam hal olahraga. Diberkati otak pintar namun dikaruniai tubuh lemah.
Manik biru langit miliknya menjelajah ke bawah, mengembuskan napas panjang. Secara impulsif, Watson melepaskan jaketnya dan melilitkannya kepada Aiden. "Rokmu kependekan. Sudah malam."
Aiden tersenyum lebar. "Avv, Dan khawatir ya? Setelah sekian lama, akhirnya aku berhasil meluluhkan istana es dengan cahaya hangatku."
"Apa sih yang kamu katakan." Watson manyun.
"Apakah kita langsung menonton rekaman..." Ucapan Hellen terpotong demi merasakan bajunya ditarik pelan oleh Jeremy. "Kenapa?"
"Terima kasih untuk yang tadi."
"Yang mana satu?" Hellen tersenyum jenaka.
"S-soal Lydia tadi... Duh, aku tahu kamu paham maksudku. Aku juga tahu kamu melakukannya demiku. Makanya, t-terima kasih!" batanya kikuk.
"Aku..." Hellen memegang tangan cowok itu, tersenyum. "Takkan membiarkan wanita-wanita brengsek melecehkanmu lagi, Jeremy. Aku janji."
"Apa-apaan itu?! Harusnya itu dialogku! Yang laki-laki di sini aku lho?! Dasar dunia terbalik!!!"
Saho mendengar grasak-grusuk di belakang, berdecak pelan. "Mereka berhasil menyusul. Kita harus bergerak lagi. Tolong arahannya, Watson."
"Kita berpencar dan pulang ke rumah masing-masing. Videonya bisa kita tonton besok."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Detective Moufrobi : Animals Crisis
Детектив / ТриллерBUKU KEDUA dari 'Kisah Watson' {WARNING: It is advisable to read the first book!} Watson pulang ke kota asalnya, New York. Hal itu meninggalkan jejak kentara bahwa Klub Detektif Madoka kekurangan orang. Tapi tidak mengapa, tak ada kejadian serius ya...