N. B. Mian, mian! Harusnya ane update lusa, tapi ane demam. Gak bisa mikir jadinya.
***Happy Reading***
Dermaga tua itu kosong. Tidak ada perahu yang tertambat. Bahkan jalanannya lapuk, sudah patut diganti. Di dalam pondok hanya diisi tumpukan kotak-kotak berdebu.
Huftt. Watson terlalu berpikir jauh. Apa yang mereka lakukan di sana sih? Bukan dermaga itu satu-satunya... Ng? Watson menoleh ke sudut pondok. Ada sebuah cermin tergeletak.
"Kenapa ada cermin di sini?" Terlebih, kaca dan bingkainya masih baru pula. Watson tak menyangka ada saja manusia yang membuang barang-barang bagus di tempat seperti ini.
"Hei, Hellen menelepon nih. Katanya kita harus menyusul mereka ke Universitas Viralas."
"Kenapa tidak langsung bilang saja?"
"Dia maunya begitu, namun tiba-tiba panggilannya terputus. Mungkin ponselnya lowbat atau sinyalnya hilang. Siapa tahu."
Tidak ada jaringan di suatu kampus? Mustahil. Hampir setiap saat mahasiswa membutuhkan internet untuk keperluan belajar. Satu dua kampus di luar sana bahkan memiliki WiFi.
"Baiklah, kita langsung ke sana—"
"Guk! Guk!" Anjing tadi menggigit kaki celana Watson. Berputar sambil menjulurkan lidah.
"Sepertinya ia mau ikut deh, Wat."
"Heh? Kamu bercanda, Bari? Kita sedang sibuk sekarang. Tidak ada waktu untuk mengurus anjing. Lagian kamu tak lihat ia punya kalung? Pemiliknya pasti kehilangan kalau kita bawa."
"Guk!" Anjing itu berputar-putar lagi, mengais-ngais tanah, membuat kepul debu.
"Aduh! Ia ngapain sih?!" Watson terbatuk, mengucek mata yang perih karena kemasukan debu. "Bari, suruh ia berhenti dong!"
"A-anjing baik, berhenti ngacak tanahnya ya?"
Ternyata anjing itu melukis sesuatu. Salib.
"Apa ini?" Jeremy melangkah mundur, ngeri. "K-kenapa ia membuat gambar salib? Jangan bilang anjing ini anjing baptis milik bapa?!"
"Tidak, kurasa bukan begitu." Watson jongkok, menatap anjing itu yang kini duduk manis. "Kamu... Apa majikanmu sudah meninggal?"
"Guuu!" Ia memanjangkan suaranya.
Pipi Watson bersemu merah (tidak tahan dengan binatang lucu). Dia berdiri kikuk. "T-tak boleh begini. Kita harus segera pergi, Bari."
"Kenapa kamu tahu pemiliknya meninggal?"
"Kalau kamu tanya dari mana... Tangan!" Anjing itu meletakkan tangannya ke telapak tangan Watson. "Lihat? Ia jinak. Pemiliknya pasti mengajarinya sopan santun. Tadi ia tidak bereaksi apa-apa, namun ia mengekas tanah setelah aku menanyakan soal majikannya. Pemakaman orang Amerika kadang-kadang menggunakan papan salib sebagai batu nisan.
"Kamu memakai psikologi pada hewan?" Agak lain orang ini, lanjut Jeremy dalam hati takut mengatakannya. "Jika pemiliknya sudah tidak ada, kita saja yang rawat, Watson!"
"Guk! Guk!" Anjing itu senang.
"Tidak! Kamu lupa kita sibuk? Ah, sial. Sudah jam segini. Kita harus cepat-cepat ke Viralas. Nanti Aiden dan Stern marah menunggu lama."
"Tunggu!" Jeremy memegang lengan Watson. "Ayolah! Kita tak bisa meninggalkannya begitu saja. Lihat ia, Watson! Menggemaskan, bukan? Aku tahu kamu juga ingin membawanya."
Watson mendengus, memperhatikan anjing tersebut yang berbinar memelas. Ukh, sial...
"T-terserahmu saja! Jangan libatkan aku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Detective Moufrobi : Animals Crisis
Bí ẩn / Giật gânBUKU KEDUA dari 'Kisah Watson' {WARNING: It is advisable to read the first book!} Watson pulang ke kota asalnya, New York. Hal itu meninggalkan jejak kentara bahwa Klub Detektif Madoka kekurangan orang. Tapi tidak mengapa, tak ada kejadian serius ya...