File 1.4.1 - D-Day Before Watson's Return

491 153 10
                                    

"MINGGIR! ITU ANAKKU! NOKI!!!"

King menghela napas lelah, berbalik pergi dari TKP nan sesak oleh mobil patroli. Dia tak kuasa melihat raungan Licias menangisi kematian putranya yang meninggal secara menggenaskan. Dibunuh, lantas kulitnya dijahit dengan kulit anjing peliharaannya. Siapa yang kuat menyaksikan itu?

Apakah sejak awal pelaku telah membunuh Noki dan memberikan semua petunjuk itu agar klub detektif Madoka menemukan jasadnya? Jadi harapan King korban bertahan hidup sia-sia? Inikah pekerjaan detektif?

"Berapa lama aku pingsan tadi?" tanyanya mencoba mencairkan kemuraman di antara Aiden dan Hellen. Setelah King siuman, SASANA Gym sudah dikelilingi mobil polisi.

"Entahlah. Mungkin dua puluh menitan sesudah aku menelepon Petugas Marc dan Petugas Polly."

"Begitu…" King langsung habis topik.

"Dua polisi daerah itu direkomendasikan oleh Gari, kan?" celetuk Hellen menggantikan King. Melihat anggukan Aiden, dia menggumamkan sesuatu. "Klub sangat berantakan."

Satu mobil polisi detektif parkir di TKP. King terbelalak melihat nomor platnya. Itu mobil baru Angra. Gawat kalau inspektur satu itu melihat mereka ada di sana. Bisa-bisa dimarahi atau dikuliahi kalimat: ini dunia orang dewasa, anak kecil tidak patut berada di tempat seperti ini. Kalau tidak mau tugasmu diambil alih anak-anak, berkerjalah dengan benar!

"Kita harus pergi. Sopir Buk Aiden masih di sini, kan? Aku tadi juga sudah bilang pada Ketua Tim Forensik agar tak mengekspos keberadaan kita."

"Ada apa, King?" Hellen berdiri.

"Itu, si Mulut Tajam datang tuh. Bukankah bakal repot kalau dia tahu kita ada di sini? Apakah beliau itu benar-benar beliau?" Raja Abal-abal itu malah memparodikan suatu meme.

"Baiklah, kita pergi." Aiden mengangguk.

Toh, tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan di sana. Case closed karena (mayat) Noki telah ditemukan. Tak ada gunanya marah-marah pada pelaku yang kemungkinan sedang menertawakan keputusasaan mereka.

Satu hal yang pasti. Mereka akan menangkap si brengsek itu.

-

Di pagi hari cerah, Hellen sudah mengeluh sepanjang berjalan menuju ruang klub. Pasalnya Watson tidak lagi mengirim ataupun membalas pesannya. Apa ada sesuatu terjadi di New York? Tapi ada satu pesan berwaktu di ponsel Hellen yang sialnya dia tak sempat membacanya. Dia merasa gemas.

"Apa lagi yang kamu rencanakan sih, Watson? Kapan kamu pulang? Jeremy sobatmu butuh pertolongan."

Dua kuncirnya bergoyang-goyang kala dia melangkah. Senandungan ceria di bawah paras menawan menggema di langit-langit koridor. Pita sekolahnya terlihat serampangan. Berdiri di depan klub detektif dengan seukir senyuman.

"Semoga dia tak apa-apa… Hm?" Hellen menatap ke depan. Kebetulan sosok itu juga tengah menoleh padanya. Mereka beradu pandang beberapa detik sampai perempuan itu menyapa lebih dulu.

"Selamat pagi, Kak Hellen! Kakak yang datang pertama, ya? Syukurlah!" Dia merapikan anak rambutnya, memperbaiki posisi berdiri yang sopan terhadap kakak kelas. "Namaku Kapela Panzanina dari kelas satu. Aku sudah melihat kegiatan kalian sejak awal diterima di sekolah ini dan terpukau. Kalian hebat tahu tidak?! Aku ngefans berat!"

“O-oh, terima kasih?” Hellen kagok.

"Aku memata-matai kalian setiap hari—kalian takkan tahu, aku pengintai yang hebat. Kudengar Kak Gari batal menjadi member klub dan Kak Saho sibuk dengan kegiatan DS-nya, terlebih Kak Bari absen. Kalian kekurangan slot, kan? Bolehkah aku bergabung??”

"Tergantung." Orang lain menjawab. Itu King. Dia yang tadinya menggantuk karena begadang nonton anime baru, seketika melek saat melihat dan mendengar perkenalan Kapela.

Yang King butuhkan adalah member serius dan niat pada aktivitas klub, bukan seperti Gari dan Saho. Sudah beban, banyak topeng pula. Dia jenuh dengan pendaftar bermuka dua.

"Tergantung bagaimana, Kak?"

"Jika kamu bergabung hanya untuk bersenang-senang, mending lupakan saja." King tak butuh anggota modalan numpang muka dan nama doang.

"Aku mengerti"  ucap Kapela mengepal tangan. "Aku akan membuktikan kalau aku niat dengan klub ini!"

"Hoo." King tersenyum miring. Aura Kapela mengingatkan pada dirinya saat masa-masa (dipaksa ayah) join ke klub. Tapi mari kita lihat, sejauh mana antuasismenya bertahan.

"Klub detektif." Panjang umur. Chalawan datang bersama Aiden yang kebingungan mengapa dia dipanggil kepala sekolah. Wajah beliau tampak serius.

Hellen berbisik, "Kenapa nih?"

"Entah." King mengangkat bahu. Walau dia anak kepsek, tidak semua hal Chalawan beritahukan ke King. Pria itu bersikap adil dan tidak ada perlakuan istimewa, kecuali ketika dia menyuruh King bergabung ke klub detektif.

"Bisakah kalian datang ke ruangan saya? Ada seorang tokoh penting yang ingin bertemu dengan kalian."

-

Betapa terkejutnya Aiden, Hellen, dan King. Ini pertemuan tak terduga dan terkesan lancang untuk remaja seperti mereka. Bahkan King yang menyepelekan segala hal dibuat berpeluh.

Tamu itu adalah salah satu intrik politik Moufrobi. Calon Gubernur yang terhormat, Lunduls Mordaru. Apa yang beliau lakukan di Madoka? Anaknya bersekolah di sana? Mustahil. Massa mengatakan beliau masih melajang.

"B-bukankah beliau dalam masa pemilu? Berkeliaran seperti ini bisa memancing rasa ingin tahu para netizen."

Hellen menggeleng tidak tahu. Ya mana dia tahu calon gubernur itu datang menemui mereka. Dalam rangka apa coba. Jangan-jangan permintaan tolong.

"Wahai, kalian sudah datang rupanya. Para jagoan Madoka. Pahlawan Moufrobi. Ini kali pertama kita bertemu. Apakah kedatanganku mengganggu?"

"T-tidak, Pak." Aiden yang komunikasinya paling baik di antara mereka bertiga, kepeleset lidah akan tekanan aura beliau.

"Jangan gugup begitu. Saya belum menjadi gubernur sungguhan." Lunduls bergurau agar atmosfer tidak terlalu berat bagi mereka bertiga.

Sementara Aiden dan Hellen sibuk merapikan helai rambut, ujung mata King memperhatikan pria yang berdiri di belakang bangku Lunduls. Apa beliau rekannya? Dia tampak membenahi salah satu kancing jasnya.

Oh, ngomong-ngomong gaya rambut Aiden hari ini half up double bun. Dia menyematkan pita pink dan biru bergaris-garis putih ke tiap bulatannya. Terlihat sangat cocok untuknya.

"Baiklah, sudah cukup ramah tamahnya. Kalian pasti penasaran kenapa saya membuat pertemuan dadakan dengan kelompok remaja terkenal yang berhasil menangkap penjahat anak di kota ini," kata Lunduls akhirnya masuk ke topik pembicaraan. "Sebenarnya saya membutuhkan bantuan kalian."

Tuh ‘kan. Tebakan Hellen akurat. Apalagi maunya tokoh penting seperti calon gubernur mendatangi mereka kalau tidak ada kendala dalam proses pemilunya. Entah kenapa mereka bisa menerka arah percakapan ini.

"Saya dijebak seseorang yang sepertinya ingin menjatuhkan saya. Kalian pasti tahu, masalah politik."

"Maaf, Pak, tapi kami ini detektif. Bukan anak hukum. Masalah Bapak di luar kekuasaan kami—"

"Saya tahu kalian akan berkata demikian. Bawahan saya mengira saya sinting melibatkan anak-anak berjiwa detektif ke dunia politik. Tapi, saya takkan meminta bantuan kalian jika masalah saya ini tak berhubungan dengan kategori kriminal."

Aiden, Hellen, dan King menatap bingung. Apa maksudnya?

Rekan Lunduls menyerahkan iPad di tangannya ke hadapan mereka bertiga. Adalah sebuah foto.

"A-apa ini?" Aiden maupun Hellen tercengang melihatnya.

"Laut Berdarah?" (*)







[END] Detective Moufrobi : Animals CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang