Suatu malam yang tengah hujan salju, di sebuah gang kumuh khas tempat para gelandangan berkumpul, seorang anak meringkuk tak berdaya di atas kardus. Lampu tiang berkedip-kedip menyinari surainya yang berwarna pink, terlihat kotor oleh tanah dan keputihan karena salju.
Udara terasa dingin, namun anak itu bergeming. Enggan untuk bergerak mencari kehangatan. Tatapannya yang kosong terarah lurus ke langit yang menurunkan butir salju. Kedua pipinya cemong, pakaiannya juga tipis tak memadai.
"Aku harap dunia sialan ini berakhir saja."
"Kalau dunia tamat begitu saja, kamu tidak bisa meraih kebahagiaanmu dong." Sesosok manusia lain, menceletuk menyambung gumaman anak itu.
Dia mengalihkan kepala. "Siapa di sana..."
"Aku?" Siluet itu berjalan mendekat. Cahaya lampu menyiram tubuhnya, menampakkan rambut seputih salju nan panjang. "Malaikat yang akan mengeluarkanmu dari neraka busuk ini."
TENG NONG! Suara bel rumah membuyarkan bunga tidur Saho. Dia melek serta banjir keringat. Napasnya menggebu. Karena pusing dan sekujur tubuhnya panas, Saho tak sempat membuka jendela. Hanya tertidur di ranjang.
Pertanyaan di kepalanya saat ini adalah: siapa yang datang berkunjung? Saho tak punya kerabat jauh (sanak saudara). Apakah itu Apol atau Dewan Siswa? Atau teman-teman sekelas? Memikirkannya lebih lanjut bikin tambah pusing.
Jadilah Saho menyingkap selimut yang membalut tubuhnya, beranjak pergi dari kasur. Jarum jam berhenti di angka dua. Sepertinya sudah siang. Rumah Saho terasa pengap.
Saho membukakan pintu. Ternyata teman-teman klubnya. Adalah Watson, Aiden, dan Hellen.
"Kalian... kenapa kemari?" tanya Saho kikuk.
"Kami dengar kamu tidak masuk kelas karena demam, jadi kami datang menjenguk. Tadinya Jeremy ingin ikut, tapi dia ada acara keluarga." Hellen menjelaskan singkat, melangkah masuk begitu empunya rumah mempersilakan.
Disusul Watson. "Permisi..." gumamnya kikuk. Dia selalu begitu setiap bertandang ke rumah orang lain. Yah, kecuali jika dia masuk mode serius.
"Di sini sumpek banget. Aku buka tirainya, ya!"
Tanpa menunggu persetujuan tuan rumah, Aiden segera menyiah gorden jendela. Cahaya matahari seketika menerabas penglihatan. Silau.
Di sisi lain, Hellen sudah menggulung lengan kemeja sekolahnya, mulai menguasai dapur. Apalagi tugasnya kalau bukan membuatkan sesuatu untuk Saho. Bubur, tentu saja. Makanan pokok bagi orang sakit. Tidak sulit membuatnya.
"A-aku sudah senang kalian datang... Tapi kalau kalian begini, aku jadi merasa terbebani..."
"Kamu sudah jadi member resmi klub detektif, Shepherd," ucap Watson asyik mengupas apel bentuk kelinci. "Bagaimana mungkin kami tidak menjenguk teman kami yang sakit? Kamu tinggal sendiri, kan? Tidak ada yang merawatmu."
"Wah!" Aiden berdecak kagum melihat mahakarya Watson nan menggemaskan. "Ternyata kamu ahli untuk yang beginian. Aku mau mencobanya—"
"Memangnya kamu yang sakit?" Detektif Pemuram itu menepuk tangan Aiden yang nakal ingin mencomot barisan apel di piring.
"Ih, kan aku yang membeli apelnya. Setidaknya biarkan aku makan sepotong saja, Dan...!"
"Oh, ceritanya kamu perhitungan nih? Baiklah. Berikan rekeningmu. Aku akan membayarnya."
"ENGGAK, WOI! Kok kamu jadi mengambek sih?!"
Saho tersenyum kecil melihat mereka berdua.
"Orangtuamu tidak di rumah, Sa?" celetuk Hellen di dapur, sudah masuk ke tahap menjerang. Mencari topik obrolan yang terlintas di benak.
"Ah, iya... Mereka sedang di luar negeri."
"Oh, ya? Mereka sepertinya orang yang sibuk."
Saho mengusap tengkuk, duduk menikmati kupasan apel yang disodorkan Watson. "Begitulah. Ibuku seorang ilmuwan. Ayahku seorang polisi."
DEG! Tangan Watson yang dari tadi sibuk menguliti apel segar, berhenti. Kebetulan macam apa ini? Profesi orangtua Saho mirip dengan pekerjaan orangtuanya. Tidak, tidak. Dyana itu kan seorang profesor fisika. Bukan ilmuwan.
Tapi... Watson mengelus dagu. Rata-rata ilmuwan yang legal di mata dunia, dulunya seorang profesor. Duh, pemahaman Watson tentang dunia orang dewasa masih tumpul seperti pensil.
Lagi pula, Daylan itu mantan polisi. Apa pun yang berhubungan dengan Saho selalu mengingatkan Watson dengan orangtuanya. Bikin tambah beban pikiran saja. Lupakan masalah yang lain, kasus Qenea adalah kepentingan mendesak saat ini.
"Buburnya sudah matang!" Hellen membawa nampan berisi semangkok bubur hangat ke ruang tamu. Baunya harum, membuat nafsu makan Aiden dan Watson meningkat. Hellen terkekeh. "Aku membuat lebih di dapur. Kalau kalian mau—"
Belum genap Hellen menyelesaikan kalimatnya, dua sejoli itu sudah tancap gas ke dapur.
"Ara-ara, lihat mereka. Soal makanan langsung lupa attitude. Tidak tahu malu," gumam Hellen menatap prihatin Aiden dan Watson (yang berebutan bubur). "Aku minta maaf atas kelakuan dua orang itu, Saho. Benar-benar menyedihkan."
Saho tersenyum teduh. "Aku rasa mereka seperti itu karena masakanmu sangat enak, Hellen."
"Aha! Kamu yang kesekian mengatakan itu."
Menyuap beberapa kali, Saho pun bertanya, "Apa kalian sudah menonton rekaman yang kita dapatkan dari ponsel Lydia? Apa isi videonya?"
"Itulah yang membuat kami kebingungan sekarang." Watson yang menjawab, mengambil tisu untuk mengelap mulutnya. "Kesaksian Jillian, informasi dari Ketua Lurah, rumor tentang Qenea, semuanya saling bertentangan."
Aiden menunjukkan video tersebut pada Saho.
"Apakah kita harus ke Arohara sekali lagi, Watson? Sepertinya kita harus menggeledah rumah Qenea mencari petunjuk tambahan. Kalau terus begini kita bisa kalah. Kecuali jika Qenea itu benar-benar sudah miring otaknya."
Watson mengernyit, mengalihkan perhatiannya kepada Hellen. "Kamu percaya Qenea psikopat?"
"Setelah apa yang kita lihat, bukankah rumor itu bisa jadi kebenaran?" Hellen mengangkat bahu.
"Entah kenapa..." Watson dan Hellen menoleh ke Saho yang selesai menonton video itu. "Aku merasa ada yang ganjil dengan kepribadian Qenea. Sikapnya waktu di sekolah anak-anaknya dan di dalam video ini sangat jauh berbeda."
Mereka melihatnya sendiri, bagaimana lembutnya Qenea rela mengais-ngais tong sampah mencari uang demi anak-anaknya. Tapi Qenea yang ada di rekaman benar-benar seperti sosok orang lain.
Hellen tersentak sadar akan sesuatu, menoleh cepat. "Jangan bilang si Qenea itu mengidap—"
"Tahan, Stern." Watson mengangkat tangan. "Jangan terburu-buru menyimpulkan. Kita hanya baru melihat sekali. Belum jelas dia pasien DID."
"Tapi semua poinnya cocok lho, Dan."
"Jika memang begitu, Qenea bisa saja berubah ganas di gerbang sekolah waktu itu karena kelakuan anak-anaknya yang bandel, namun tidak ada yang terjadi. Qenea masih menjadi dirinya."
Mereka bertiga diam. Penjelasan Watson pendek dan sederhana, namun tegas membantah Qenea memiliki gangguan jiwa 'kepribadian ganda'. Sherlock Pemurung itu memiliki satu dugaan selain DID. Tapi dia kekurangan informasi.
"Stern, apa kamu sudah mencari apa yang kusuruh tadi?" Watson bersedekap kalem.
"Ah, Theo mantan suami Qenea? Dia tidak memiliki catatan kriminal. Yang ada hanya keluhan orang-orang tentang Theo yang pemabuk dan suka menggoda wanita alias playboy. Tampaknya inilah pemicu mereka bercerai. Theo merasa bosan dengan istrinya dan pergi dari rumah meninggalkan Qenea serta anak-anaknya."
"Kamu benar..." kata Watson tanpa ekspresi.
"Apa?" Hellen, Aiden, dan Saho menatapnya.
"Kita harus mencari petunjuk di rumah Qenea."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Detective Moufrobi : Animals Crisis
Mystery / ThrillerBUKU KEDUA dari 'Kisah Watson' {WARNING: It is advisable to read the first book!} Watson pulang ke kota asalnya, New York. Hal itu meninggalkan jejak kentara bahwa Klub Detektif Madoka kekurangan orang. Tapi tidak mengapa, tak ada kejadian serius ya...