Watson sudah pernah mengingatkan Aiden, Hellen, dan Jeremy bahwa dia hanya suka pada kasus pembunuhan. Walau di S1 dia banyak turun tangan dalam kasus pencurian, penculikan serta pembulian, tetap saja dia anti dengan masalah yang banyak drama.
Tapi sepertinya yang satu ini kedengaran menarik. Apakah selain melakukan KDRT, si suami teman Jilian juga membunuh orang? Kalau begitu ini kasus KDRT-pembunuhan. Karena ada kata 'bunuh', Watson mau tak mau harus serius menyelidikinya.
"Nama korban adalah Qenea Mashoano, 39 tahun. Dia tidak memiliki pekerjaan tetap dan bekerja serabutan di sebuah pasar. Memiliki dua orang putra yang sama-sama menduduki sekolah dasar. Dia dan suaminya sudah berpisah selama tiga tahun."
"Siapa nama suaminya?" Aiden bertanya.
"Theoderic Hausener, 41 tahun."
"Jika mereka sudah bercerai tiga tahun, seharusnya hak asuh anak sudah dikeluarkan oleh pengadilan. Apakah Theo melakukan KDRT untuk memperebutkan anak mereka?"
Hellen menggeleng. Tidak ada catatan mengenai konflik internal Theo dan Qenea. Alasan mereka berpisah tidak diketahui.
"Bagaimana, Watson?"
"Jilian meninggalkan alamatnya, kan? Kita bisa ke sana hari ini." Watson menoleh ke Kapela yang cengar-cengir. "Kamu, tolong urus surat izin kami dan jaga klub. Paham?"
"Serahkan padaku, Kak!" Kapela hormat.
"Kita berangkat sekarang."
Tok! Tok! Tok! Terdengar suara ketukan dan pintu yang berderit. Adalah Saho. Sepertinya tugas Dewan Siswa yang diberikan Apol padanya sudah selesai, mungkin?
"K-kalian mau ke mana?" tanyanya kikuk.
"Kampung Arohara. Mau ikut?" ajak Jeremy menyandarkan kepala menggunakan tangan.
Saho mengangguk. "B-boleh. Aku senggang."
Hellen menyikut pinggang Watson yang biasa-biasa saja. "Apa ini tidak apa? Dasar Jeremy, kenapa dia mengajaknya sih."
"Tidak apa, Stern. Biarkan saja."
Aneh. Kenapa dibiarkan? Bukankah detektif muram itu mencurigai Saho ada something? Keraguannya lenyap? Hmm, Watson sus.
"..." Watson melirik datar Saho yang antusias berkemas. Hanyut dalam pikirannya.
-
Klub detektif Madoka tiba di Arohara pukul dua siang. Tempat itu cukup sepi. Ke mana para penduduk pergi? Beraktivitas? Bahkan di sawah pun tidak ada petani padahal mesin traktor terparkir di salah satu petaknya.
"Dan, di sana!" Aiden berseru.
Ternyata sebagian warga di kampung itu berkumpul di rumah lurah. Tanpa berpikir dua kali, mereka berlima pun bergerak ke sana sembari melihat pemandangan sawah nan indah memanjakan mata.
"Kita harus mengusir wanita itu! Kita tak bisa berpangku tangan! Dia itu psikopat!" Sayup-sayup terdengar kalimat ini.
"Jika kita membiarkannya terlalu lama di perkampungan ini, banyak yang akan mati!"
Aiden dan Hellen saling tatap heran. Apa yang mereka maksud adalah Qenea? Watson mengatupkan rahang. Situasi di Arohara (rumor soal Qenea) rupanya sudah parah.
"Tenanglah, saudara-saudara sekalian..."
"Mana bisa kita tenang di situasi ini?! Kita harus mengusir Qenea secepatnya kalau anda tidak mau jatuhnya korban jiwa! Jangan-jangan sudah ada lagi dan dia menyembunyikan jasadnya di rumahnya."
"Itu menjelaskan kenapa dia selalu menyeret karung misterius setiap malam."
"Qenea jauh lebih lama tinggal di Arohara dibanding kalian semua. Kita tak bisa mengusirnya sepihak seperti ini."
Gawat, suasananya ribut. Kalau Watson dkk mendadak menampakkan diri, bakal tambah runyam. Untuk sementara dia harus mundur.
"Di mana rumah Jilian?"
"450 meter dari sini. 6 menit jalan kaki."
"Oke. Kita ke sana."
Yang lain mengangguk. Ikuti saja si Sherlock Pemurung itu. Mereka tahu persis Watson tak suka dengan kericuhan apalagi beramai-ramai begitu. Nanti dia ngambek.
"K-kalian datang." Jilian membuka pintu. "Silakan masuk. Maaf rumahku kecil dan pengap. Apa kalian mau minum teh?"
"Tidak usah, Nyonya. Kami hanya sebentar."
Jeremy menyikut Watson, mengodenya untuk bicara. Cowok itu berdeham. "Masalah ini menjadi pelik, Nyonya Jilian. Warga mulai mengeluh tentang Qenea. Jika kelurahan sepakat untuk mengusir teman anda, maka kesempatan kita menang sangatlah tipis."
"Apa ada yang bisa saya lakukan?"
Baiklah. Banyak yang harus Watson cari. Jika Jilian benar soal Qenea tidak bersalah, maka dia harus menemukan bukti fisik. Luka di tubuh Qenea takkan cukup, apalagi mereka belum memastikannya. Apakah dia harus menginterogasi Theo lebih dulu? Atau anak-anak Qenea? Tapi mereka ada di mana?
"Kami ingin anda mengulur waktu selama mungkin," kata Aiden mewakili Watson yang diam diserang pertanyaan di kalbunya.
"Ya. Bicaralah dengan Bu Lurah dan bilang padanya untuk menunda pengusiran Qenea. Setidaknya sampai kami menemukan..."
"Masalahnya polisi sudah tahu soal ini," cetus seseorang tahu-menahu bergabung di rumah kecil tersebut. Adalah Bu Lurah.
Astaga! Kenapa bisa? Watson yakin tidak ada yang melihat mereka tadinya.
Beliau menunjuk Saho. "Rambut anak itu sangat mencolok. Setelah saya perhatikan, ternyata detektif Madoka datang kemari."
Mereka bertiga menatap Saho malas. Saho hanya cengengesan kikuk. Mungkin itu ekspresi terbaiknya ketika merasa bersalah.
"Kenapa polisi bisa tahu?" tanya Hellen.
"Tiga hari lalu, kami mendapat laporan bahwa Qenea menyerang seorang remaja hingga remaja itu dirawat di rumah sakit. Reputasi Qenea memang sudah jelek. Sekali dia membuat masalah, penduduk tak segan menghubungi polisi. Kusarankan kalian tidak perlu ikut campur dalam urusan ini. Saya tak ingin warga saya dilanda kerisauan panjang."
"Permisi," Watson menyela. "Anda tak berhak melarang kami bekerja. Bagaimana jadinya kalau Qenea tidak bersalah? Lagi pula apakah ada bukti Qenea menyerang remaja itu? Atau bukti rumor Qenea melecehkan anak-anaknya serta membunuh seseorang. Jangan bertindak gegabah, Nyonya. Anda dan warga anda bisa didenda karena memfitnah."
"Sepertinya kamu pemimpin rombongan ini." Beliau terkekeh yang entah kenapa terdengar menyebalkan. "Kamu tidak tahu apa pun tentang Qenea di Arohara, Nak."
"Ah, soal dia selalu menyeret karung aneh pada malam tiba? Aku mendengarnya lewat salah satu wargamu," tebak Watson akurat. Dia sudah merasa ganjil saat mendengarnya.
"Ternyata kamu tahu."
"Beri kami waktu mencari bukti, Nyonya. Jika anda menyayangi warga anda, alangkah baiknya anda ikut membantu. Kuharap anda tahu tentang KDRT yang menimpa Qenea."
Alisnya bertaut. "KDRT? Qenea? Apa yang kamu bicarakan? Dia tidak pernah terlibat kekerasan apa pun. Suaminya pergi dari Arohara sejak lama dan tak pernah kembali."
"Bagaimana dengan hak asuh anak? Mereka bertengkar karena memperebutkan itu."
"Theo bahkan tidak pernah melihat putra-putranya setelah memutuskan bercerai dengan Qenea. Dia pergi begitu saja meninggalkan istri dan anak-anaknya."
Oke, ini membingungkan.
Serempak mereka menoleh ke Jilian yang menelan ludah gugup. Ekspresinya panik.
"Bisa anda jelaskan maksudnya, Nyonya Jilian? Apa anda berbohong tentang permohonan anda?" tuding Watson tajam.
Jilian menggeleng cepat. "Saya tak berbohong! Qenea lah yang mengatakan bahwa dia mengalami KDRT. Saya hanya menyampaikan apa yang saya dengar."
Beliau tersenyum penuh kemenangan. "Wah, sepertinya kalian ditipu habis-habisan, Detektif. Apa yang akan kalian lakukan? Masih mau mendukung Qenea?"
Watson diam saja. (*)
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Detective Moufrobi : Animals Crisis
Misterio / SuspensoBUKU KEDUA dari 'Kisah Watson' {WARNING: It is advisable to read the first book!} Watson pulang ke kota asalnya, New York. Hal itu meninggalkan jejak kentara bahwa Klub Detektif Madoka kekurangan orang. Tapi tidak mengapa, tak ada kejadian serius ya...