"Usir dia! Usir wanita penjahat itu!"
"Jangan biarkan psikopat sepertinya tinggal di desa kita! Selamatkan Arohara dari pembunuh!"
Ketua Lurah menatap dua petugas yang kelimpungan oleh seruan-seruan warga desa. "Mau sampai kapan kami harus menunggu, Pak? Ini sudah mau dua jam lho. Kami juga harus bekerja."
"Meminta surat penangkapan untuk sipil kalangan rendah tidak semudah itu, Nyonya. Tolong tunggulah sebentar lagi. Bos kami akan datang."
Jillian menatap cemas Qenea yang menggigiti kuku jari, gundah gulana. Bagaimana ini? Di mana klub detektif Madoka? Kenapa mereka tidak ada di sini?
"Kakak, Mama akan ditangkap. Kita harus apa?"
"Mana kutahu," jawab kakaknya tak peduli.
"Apa?" Jillian yang terlanjur mendengarnya, berkacak pinggang di depan si anak pertama, melotot jengkel. "Kamu ini, ibumu sedang dalam kondisi sulit. Bisa-bisanya kamu tak mau tahu."
"Apa itu salahku? Itu salahnya berkeliaran di malam hari menyeret karung-karung aneh yang berdarah. Pantas saja para warga mencurigainya."
"Kamu...!" Jillian batal marah sebab Qenea menyentuh lengannya. "Kamu harus menegur anakmu yang kurang ajar ini, Nea. Mulutnya itu."
"Bukan masalah, Jillian. Tidak apa-apa."
“Kamu selalu saja mementingkan putra-putramu yang kurang taburan akhlak. Kamu harus keras sesekali, Nea. Jangan mau didominasi oleh anak. Kalau tidak, mereka takkan bisa diatur." Terpaksa Jillian meredam amarahnya agar suasana tidak geger. Sekeliling mereka sudah terasa hambar karena tatapan kebencian para penduduk desa.
Ngiung! Ngiung! Ngiung!
Suara sirene polisi mengejutkan Jillian dan Qenea, seketika pucat. Lain latar di sudut pandang warga desa Arohara serta Ketua Lurah. Mereka sontak bersorak senang karena akhirnya Qenea bisa pergi dari sana. Tiada solidaritas sama sekali.
Sepertinya tidak ada pilihan lain. Qenea beranjak membungkuk, memegang tangan kedua putranya. "Untuk sekarang, kalian tinggal bersama Bibi Jillian, ya? Mama tidak bisa menjumpai kalian dalam waktu yang lumayan lama. Jangan nakal, jangan pulang larut. Patuh sama bibi. Kalian paham?"
"Iya, Ma." Si Adik mengangguk. Si Kakak awalnya mendengus pelan, tapi kemudian mengangguk. Qenea tersenyum, mengusap kepala mereka.
Angra turun dari mobil sembari membawa selembar kertas. "Nyonya Qenea Mashoano," ucapnya datar menghampiri pemilik nama seraya mengeluarkan borgol. "Anda ditangkap karena tuduhan telah melakukan pembunuhan, melanggar UU nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan lingkungan hidup dengan memeram sampah, penyerangan remaja di bawah umur, dan kekerasan terhadap anak. Anda berhak untuk diam, berhak menyewa pengacara, dan berhak membela diri. Mari ikut saya dengan damai.”
Kenapa tuntutannya jadi banyak begitu?
Jillian menoleh, mendesis kesal demi mendengar cekikikan puas Ketua Lurah serta warga sekampung. Dasar muka dua! Munafik! Sejak awal si Buk Lurah itu menginginkan Qenea pergi! Dia hanya pencitraan di depan detektif Madoka.
Sekali lagi Qenea menoleh ke anak-anaknya yang kini memandang khawatir, tersenyum pahit. "Jaga adikmu. Jangan sampai sakit. Selalu dengarkan perkataan Bibi Jillian. Sampai jumpa entah kapan."
"Mama..." Si Adik menoleh panik. "Kakak, Mama mau pergi. Kantor polisi itu tempat penjahat dikurung, kan? Mau sebejat apa Mama, dia tetap Mama kita, Kak. Kita harus bantu Mama. Kakak!"
"Diamlah! Aku... juga tak tahu harus bagaimana."
Jillian menatap sedih temannya yang diborgol. Tapi, Qenea tersenyum padanya. "Titip anakku."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Detective Moufrobi : Animals Crisis
Misterio / SuspensoBUKU KEDUA dari 'Kisah Watson' {WARNING: It is advisable to read the first book!} Watson pulang ke kota asalnya, New York. Hal itu meninggalkan jejak kentara bahwa Klub Detektif Madoka kekurangan orang. Tapi tidak mengapa, tak ada kejadian serius ya...