"WAH! PANTAINYA BIRU DAN JERNIH!" Kapela berdiri di titian kapal, menikmati sapuan angin dan pemandangan laut yang memanjakan mata.
Aiden melirik King yang berkali-kali menghela napas kasar. Ada apa dengannya? Padahal sebelum berangkat dia yang paling semangat ketimbang Kapela. Apa dia mabuk laut?
"Ini bukan liburan, Buk Aiden. Ini lebih mirip studi banding. Kenapa kita dilarang memakai baju bebas? Bepergian dengan seragam sekolah, duh malesin banget."
"Ya kan ini memang bukan liburan. Kamu lupa tujuan kita ke sana? Untuk melihat laut berdarah."
Hellen ikut memperhatikan samudera biru yang membentang di hadapannya. Laut berdarah, ya? Sejauh ini air lautnya masih biru normal.
"Ukh... kenapa aku ada di sini..." Dextra sibuk mengeluh.
Yang mengemudikan kapal adalah Jareth. Setelah Aiden mengiyakan proposal ke pulau pribadi Lunduls kemarin sore, dia mengangguk mengerti lantas pergi begitu saja. Paginya, mobil Jareth telah terparkir di gerbang sekolah menjemput mereka.
"Sepertinya dia anjing yang patuh."
"King, nanti dia bisa mendengarmu."
"Ei, tak mungkin. Dengan suara ombak, derum propeler, kicauan burung, dan arus angin, mustahil dia bisa mendengarnya. Kecuali kalau dia mengerti gerakan mulut."
"Kamu ini kelewat santai."
Sekitar 20 menitan, Kapela berhenti selfie karena latar pemandangan tiba-tiba tidak lagi indah. Dia menurunkan kameranya, memicingkan mata, meneguk ludah gugup.
"Em, kakak-kakak detektif, sepertinya kalian harus melihat ini. Kupikir kita sudah sampai deh."
Mereka seketika berdiri mematung.
Lihatlah, bibir pantai berwarna merah seperti diberi wenter. Anehnya hanya bagian itu yang terkontaminasi, sisanya masih berwarna biru laksana Teluk Alaska. Apa-apaan?
"Ada yang aneh," gumam Aiden pelan.
"Yeah. Ada yang tak benar di sini," sahut King menganggukkan kepala.
Hellen menatap ruang kokpit--tempat Jareth mengemudi. Sebenarnya mereka bisa berdiskusi detik itu juga tentang kejanggalan Laut Berdarah, namun mereka tahan sebab adanya orang luar. Mereka tidak mau mengambil resiko membiarkan Jareth memperhatikan gerak-gerik mereka.
"Aneh..." lirih Dextra, menatap pulau yang kian membesar seiring kapal memangkas jarak, beralih menatap ponselnya. Kenapa makin dekat dengan daratan, sinyal semakin hilang? Apa tidak ada jaringan internet di pulau pribadi itu? Atau mereka menyediakan Wifi pribadi? Kok begitu?
Tampaknya orang-orang di pulau itu berusaha membuat klub detektif Madoka terputus dari dunia luar.
Kapal berhenti di pelabuhan. Sebuah club car parkir di jalan. Tidak ada sesuatu seperti pelayan atau pengawal yang menyambut mereka. Jareth yang mengurus semua keberangkatan sampai kedatangan klub detektif Madoka. Sudah dia yang mengendarai kapal, kini dia mengemudikan mobil.
"Apa tidak ada orang lain di sini, Pak?"
Jareth menggeleng. "Hanya ada saya dan Pak Lunduls."
"Tapi pulau ini terlalu luas untuk dihuni dua individu. Apa Tuan tidak kerepotan mengurusnya?"
"Bukan masalah demi beliau. Lagi pula saya digaji penuh."
King mencibir pada Hellen. "Naneun dangsin-ege mal haess-eoyo, geu namja chungseongseuleon gae (sudah kubilang padamu, dia itu anjing yang setia)."
Si sialan itu sengaja pakai bahasa Korea untuk menyindir Jareth terang-terangan. Hellen mendesis sebal. Apa dia sedang pamer? Dipikir keren 'gitu? Apaan coba artinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Detective Moufrobi : Animals Crisis
Misteri / ThrillerBUKU KEDUA dari 'Kisah Watson' {WARNING: It is advisable to read the first book!} Watson pulang ke kota asalnya, New York. Hal itu meninggalkan jejak kentara bahwa Klub Detektif Madoka kekurangan orang. Tapi tidak mengapa, tak ada kejadian serius ya...