File 1.6.2 - I Won't Leave My Friend

652 162 30
                                    

Satu bulan kemudian...

Kapela membuka pintu klub dengan semangat. Rambutnya terkuncir dua. Jas almamater sekolah diikatkan ke pinggang. "Hai, kakak-kakak semua! Miss me? Aku baru pulang liburan nih! Aku beli oleh-oleh lho buat kalian... Eh? Kok sepi? Yang lain ke mana?" bingungnya seketika kikuk.

Hanya ada Aiden dan Hellen. Itu pun mereka berdua terlihat bersiap-siap pergi ke suatu tempat. Terlebih, kenapa atmosfernya terasa sendu? Sepertinya Kapela melewatkan banyak hal sebulan ini.

"Apa dia masih ada di sana?"

"Ya, sudah enam hari lima malam. Dia tidak mau pergi." Aiden menghela napas. Dia menguncir tinggi rambut emasnya dengan karet hitam dan mengenakan kep mawar di sisi kanan kepala. "Ngomong-ngomong pengadilannya hari ini, kan?"

Hellen mengangguk datar. "Jeremy, Dextra, dan Inspektur Angra sudah pergi ke sana lebih dulu sebagai saksi. Aku tidak bisa karena harus ke rumah sakit mengunjungi King. Juga... Nyonya Pasha."

Dahi Aiden terlipat. "Apa maksudmu? Kenapa kamu menyebut nama itu?"

"Kapsul itu benar-benar mengawetkan seluruh tubuhnya, Aiden. Kondisinya sangat fit. Mereka tidak bisa mengubur pasien yang 'sehat'. Orangtua Violet tidak ada, ditambah dia tidak mempunyai wali. Karena dia memiliki kartu donor organ, dengan kebijakan yang ada, rumah sakit pun mentransplantasikan jantung Violet ke Pasha dan bertanggung jawab penuh."

Apa! Aiden melotot. Bagaimana mungkin pihak rumah sakit memutuskannya begitu saja tanpa perundingan dahulu?!

"Kenapa mereka tidak membicarakannya dengan Dan terlebih dulu?! Bagaimana... Maksudku, mereka mengambil jantung seseorang yang dibunuh oleh anak pasien. Astaga! Di mana hati nurani mereka?!"

Hellen ingin membuka mulut, namun dia urung. Dia tidak punya penjelasan. Di sudut pandangnya, rumah sakit melakukan tindakan logis. Jika seseorang meninggal namun organnya bisa menyelamatkan orang lain, maka mereka akan melakukan semua upaya untuk menolong pasien yang kesempatan hidupnya tinggi.

"A-apa Dan tahu soal ini?"

Hellen menggeleng. "Tidak. Bagaimana cara kita memberitahunya kalau dia hanya duduk di depan makam Violet? Tidak makan, tidak tidur. Sepertiku di dulu hari."

"Pokoknya Dan tidak boleh sampai tahu, dia bisa makin frustasi. Aku percayakan urusan King dan Pasha padamu, Hellen. Aku akan kembali ke pemakaman."

"T-tunggu, Kak!" Kapela terburu-buru mengejar langkah Aiden. "Sebenarnya ada apa ini? Apa terjadi sesuatu?"

"Tanyakan pada Hellen. Aku harus pergi."

Kapela berhenti mengejarnya, menoleh ke Hellen yang mendesah kasar. Mau tak mau dia harus menceritakannya.

-

Nguoong~ Aungan paus bungkuk tidak lagi terdengar merdu dan menenangkan di telinga Watson, justru sebaliknya. Hewan itu mengganggu. Suaranya berisik. Badan besarnya merusak pemandangan. Paus terbang itu hanya mengacaukan pikiran.

Watson mendongak, menatap kosong paus yang meliuk di udara. "Aku sudah bilang pergi, kan? Kenapa kamu masih saja berkeliaran di sekitarku? Tinggalkan aku sendiri. Aku tidak mau melihatmu."

Nguoong~ Mana mau itu pergi menjauh. Itu makhluk khayalan yang tak sengaja Watson ciptakan selagi otaknya semrawut. Apalagi Watson habis dihantam kedukaan. Keberadaan paus tersebut semakin kuat.

"AKU BILANG PERGI! TINGGALKAN AKU! ENYAH DARI PIKIRANKU! PERGI, SIALAN!" teriak Watson putus asa, melempar apa saja agar hewan itu menghilang.

"Tolong pergi..." Sherlock pemurung melangkah mundur, terseok. "Padahal sudah kusuruh kamu pergi, kenapa kamu tetap datang? Kenapa kamu tak mendengarkanku? Kenapa... KENAPA?!"

Watson terjatuh lemas, bersandar di nisan Violet, kembali terisak. "Vi... Vi..." racaunya menggenggam kuat-kuat ukiran nisan yang menuliskan nama sahabatnya.

"Dan..." Aiden bergumam pelan.

Menyeka air mata, Watson memunggungi gadis itu. "Pergilah, Aiden. Aku tidak mau bertemu dengan siapa pun."

"Termasuk dengan mereka?"

Watson menoleh lemah, terbelalak. Aiden rupanya tidak datang sendiri. Ada Aleena dan Lupin bersamanya, juga dengan paman serta tantenya. Gadis itu menghubungi mereka agar datang ke Moufrobi.

"Lan... Matrix..." Sekali lagi air mata Watson jatuh. Dia merasa amat bersalah. "Violet dia... Violet... Aku gagal melindungi... Aku tidak bisa menyelamatkan Vi... Dia..."

Aleena menyerah. Dia maju lebih dulu, memeluk Watson. "Tidak apa, Wat. Itu bukan salahmu. Itu pilihan Violetta."

"Aku... Aku tak bisa melindungi temanku... Aku sangat lemah... Violet mati sia-sia..."

Aleena menggeleng, tersenyum tulus. "Dia meninggal dengan bahagia. Dia berhasil menyelamatkan orang yang dia sukai. Itu bukan salahmu, Watson. Itu takdir Violet. Dia yang membuat pilihan, bukan kamu."

"Yap, Aleena benar!" kata Lupin menyeka ujung mata yang berair, mendekati mereka berdua setelah menangis di samping Aiden. "Kamu sudah berjuang sebisamu. Kamu tak bisa menentang pilihan seseorang."

"Maka dari itu, kita pulang sekarang, ya? Violet sudah tenang di sana. Dia bisa sedih kalau kamu terus begini," bujuk Aleena.

"TIDAK! Aku takkan meninggalkan temanku! Vi pasti kesepian jika aku pergi. Aku takkan pergi dari sini!" Watson langsung menolak.

"Watson, jangan begini. Kamu sudah pucat seperti mayat hidup. Violet takkan mau temannya mati kelaparan di depan makamnya. Jangan menyiksa diri sendiri."

"AKU TAKKAN PERGI!"

Tidak ada pilihan lain. Untuk remaja keras kepala sepertinya, membujuk baik-baik takkan berpengaruh. Beaufrot melangkah ke arah Watson yang memeluk nisan.

"Kita pulang," tegas Beaufrot, menarik Watson untuk berdiri secara paksa. "Tidak ada gunanya lagi kamu di sini."

"TIDAK MAU! AKU TAK MAU PERGI! VIOLET! AKU TAKKAN MENINGGALKAN TEMANKU!"

"WATSON!" Suara Beaufrot meninggi, bahkan sampai membuat detektif muram itu tersentak, berhenti memberontak. "Sadarkan dirimu. Kamu yang paling tahu yang kamu lakukan hanyalah kerugian. Jika kamu benar-benar peduli padanya, maka pikirkan perasaan temanmu. Apa kamu kira dia menginginkan kamu duduk di makamnya berhari-hari? Jangan egois."

"TIDAK! PAMAN TIDAK MENGERTI APA-APA! DIA TAK PUNYA KELUARGA! DIA YATIM PIATU! SEMUA SANAK SAUDARANYA MEMBUANGNYA! DAN DIA MENGANGGAPKU SATU-SATUNYA KELUARGANYA! PAMAN TAK MENGERTI PERASAANKU!"

Beaufrot merengkuh tubuh keponakannya itu ke pelukannya, membiarkan Watson terisak ke sekian kalinya, mengusap kepalanya. "Tidak apa, tidak apa. Ini bukan salahmu. Menangislah sampai kamu puas."

"Vi... Maafkan aku.. Vi..."

Sherlock Pemurung itu sudah mencapai batasnya. Dia tak bisa mempertahankan kesadarannya, terkulai pingsan.

"Watson!" Aleena dan Lupin panik.

"Dia baik-baik saja. Dia hanya pingsan karena kelelahan dan kelaparan," kata Noelle setelah mengecek nadi Watson yang sangat lemah. Anak itu butuh infus. "Terima kasih sudah mau datang, Nak Aleena, Nak Lupin. Terima kasih juga telah menelepon mereka, Nak Aiden. Jika kalian tak datang, Watson akan terus di situ."

"Bukan masalah, Tante. Mereka teman kami. Sudah seharusnya kami datang..." Aleena menatap lemas nisan Violet, mendesah berat. Kenapa bisa seperti ini.

"Kalau begitu kami permisi. Watson harus segera mendapatkan perawatan." (*)





N. B. Oi, baca King dulu sana soalnya time jump. Awas nanya2 /lagi kesal krn dpt ide buat Dextra, tapi kepublish Gari duluan/







[END] Detective Moufrobi : Animals CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang