File 1.6.4 - Try to Let Go

509 162 18
                                    

"Bagaimana perasaanmu?"

Bahkan setelah tertabrak mobil, tubuh Watson tak sampai seberat ini. Meski begitu dia tetap memaksakan diri untuk duduk, menyandarkan punggungnya ke bantal, menatap datar lengannya yang sudah ditempeli jarum dan selang infus. Watson tidak berada di rumah sakit. Beaufort mau detektif muram itu dirawat di rumah saja.

Watson terkekeh miris dalam hati. Pada akhirnya dia meninggalkan temannya. Dia melanggar janjinya sendiri agar tidak pergi dari sisi Violet. Betapa ironis.

"Sudah, jangan menangis lagi. Air matamu bisa kering mengingat enam hari ini kamu hanya menangis." Beaufort bermaksud menghibur, namun entah kenapa malah terdengar melarang.

Sherlock Pemurung itu menyeka ujung matanya. "Tidak mungkin, Paman. Hanya karena kita keseringan menangis, belum tentu pasokan air mata kita menipis. Ada penjelasannya."

"Bisakah kamu jelaskan, Tuan Detektif? Sambil menghabiskan bubur hangat ini." Dia memang sudah menunggu Watson bangun dari tadi sembari membawa nampan makanan.

Watson membuka mulutnya, menerima suapan dari Beaufort. "Penurunan produksi air mata kerap terjadi karena penambahan usia atau memiliki penyakit tertentu seperti kekurangan vitamin A, sindrom Sjögren, dan ada skleroderma. Tapi karena mataku sehat bugar, efek samping dari menangis tak berkesudahan adalah sakit kepala dan kekakuan pada otot leher serta wajah."

[Note: Sindrom Sjögren, penyakit autoimun yang umumnya menyerang kelenjar air liur dan air mata. Skleroderma, sebuah penyakit yang menyerang jaringan ikat sehingga menyebabkan jaringan tersebut menebal dan mengeras.]

"Kamu pintar seperti biasa!"

Tuh, kan. Mata detektif muram itu kembali berkaca-kaca, teringat perkataan Violet yang terlintas di benak. Padahal sekilas dia mulai bisa mengalihkan pikiran.

"Jangan nangis. Atau semua koleksi Holmes kesayanganmu akan kubakar," kata Beaufort tak ngotak. Bukannya menghibur malah mengancam.

"Aku tidak menangis." Cowok itu menutup kedua matanya menggunakan lengan. Bilang tidak tapi bahunya naik-turun, pasti sedang sesegukan.

Beaufort menghela napas pelan. "Kemarilah."

Setelah dikode seperti itu, Watson menurunkan lengannya, menatap Beaufort yang mengangguk. Dia pun beringsut ke tempat pamannya duduk.

"Ya ampun keponakanku ini," gumam Beaufort memeluk sherlock pemurung itu. "Hatimu pasti sangat menderita sekarang. Tidak apa, tidak apa."

Dulu saat menangis berhari-hari perihal kematian orangtuanya, Watson berubah manja dan tak bisa lepas dari pelukan Beaufort. Cowok satu itu memang sulit dimengerti apa maunya. Tapi kalau itu bisa membuat Watson berhenti murung, seminggu pun Beaufort rela jadi bantal gulingnya.

Diliriknya foto Violet di atas meja.

Selamat tinggal, Vi. Aku akan mencoba mengikhlaskanmu. Tapi itu akan membutuhkan waktu yang lama.

-

Empat hari berlalu dan kelima kalinya Aiden mengintip di petak pintu, harap-harap akhirnya Watson tampak, namun sia-sia. Sherlock Pemurung itu belum datang jua.

Apa dia juga absen hari ini? Aiden kangen! Dia tak menghubungi Watson karena takut mengganggu. Apalagi cowok itu tengah bersedih hati level parah. Salah sedikit bisa canggung hubungan.

"Sedang ngapain, Kak?"

"Astaga, Dex! Kamu mengagetkanku!" Aiden melotot, refleks menginjak kaki Dextra. "Pakai aba-aba kalau mau menyapa dong! Aish, kamu ini!"

"M-maaf..." lirih Dextra mengusap-usap kakinya. Gila! Sakit sekali injakan gadis itu. "Kak Aiden sedang menunggu Kak Watson, ya? Ini sudah jam 7 lewat 10 menit."

"Iya. Wali kelas mulai bertanya-tanya tentangnya. Dan terlalu lama izin tak masuk." Aiden bersungut-sungut, masih kesal dengan Dextra.

Dextra hanya mengangguk, memperhatikan gaya rambut Aiden yang lagi-lagi bertukar. Model braid half up half down. Kepangnya disematkan jepitan bunga kosmos kecil berwarna pink. Sial! Kenapa terlihat sangat cocok untuknya?! Dextra memblushing tak jelas.

"Apa yang kalian lakukan?"

Dua kali Aiden terlonjak kaget, tapi kali ini Dextra ikutan kaget. Yang ditunggu-tunggu empat hari terakhir unjuk muka juga. Watson menatap mereka dengan ekspresi andalannya alias tembok datar. Kedua tangannya masuk ke saku hoodie.

"D-Dan...! Kamu sudah baik-baik saja?" Matanya bengkak. Berapa hari dia menangis? lanjut Aiden dalam hati, tidak berani bertanya.

"Ya," jawab Watson pendek. "Bagaimana dengan kapsul itu? Kalian membawanya kemari, kan?"

Aiden mengangguk singkat.

Tanpa basa-basi Watson, Aiden, dan Dextra pun masuk ke dalam klub. Di sana sudah menunggu Hellen, Jeremy, ditambah Kapela menyempil. Kapsul 'Revive Project' diletakkan di belakang lemari kacang karena bobot dan ukurannya terlalu mencolok jika ditaruh di tengah ruangan.

"Aku sudah melakukan semua cara yang kutahu, namun benda ini sama sekali tidak bereaksi. Bahkan Dextra sekali pun tak bisa menerobos sistem dalam kapsul seakan kode persamaannya tidak bisa disentuh oleh siapa-siapa."

"Apa ia masih bisa menyala?"

Hellen menggeleng. "Kurasa ia didesain satu kali pemakaian. Setelahnya rusak total secara otomatis. Yang membuatnya pasti genius sekali, tidak mau orang lain merampas mahakaryanya."

"Bagaimana mayat Pasha? Sudah dikubur?"

Deg! Aiden, Hellen, dan Jeremy seketika tercekat. Aduh! Dari sekian banyak persoalan, kenapa Watson harus menanyakan yang itu? Pokoknya dia tidak boleh sampai tahu! Entah apa yang terjadi jika dia tahu tentang jantung Violet ditanamkan ke Pasha dan Pasha bangkit dari kematian.

"Sudah dikubur di kampung halamannya, Kak Watson!" seru Kapela membantu mereka bertiga. Dia tersenyum meyakinkan. "Di Berlin, tepat sebelum kalian pulang ke Moufrobi."

"Baguslah. Tidak seharusnya kita bermain-main dengan jasad orang mati. Itu perangai buruk."

Eh? Dia percaya begitu saja? Haruskah mereka merasa bangga karena Watson untuk pertama kalinya melonggarkan kewaspadaannya?

Aiden berdeham keras. "Apa yang harus kita lakukan dengan kapsul besar ini, Dan?"

"Tentu saja..." Watson menatap dingin benda sialan tersebut, mengepalkan tangan. "Kita akan menghancurkannya. Sampai lebur dan tak bersisa, hingga tak ada lagi yang tahu-menahu tentang Revive Project. Benda ini tak seharusnya dibuat."

Tapi, siapa sebenarnya yang membuatnya? Watson sangat penasaran, namun dia tidak mau lagi berurusan dengan Revive Project yang menyesatkan. Firasatnya tidak tenang.

"Aku ke kantor guru dulu," pamitnya.

"Aku akan menyusulmu nanti."

Klep! Pintu klub tertutup. Ekor mata Watson  menangkap seorang siswi merekatkan poster baru ke papan pengumuman. Ada enam buah poster 'peliharaan hilang' di sana.

Benar juga. Sesuai yang Aiden beritahu, Butterfly Effect tidak hanya membunuh hewan-hewan milik orang luar melainkan juga menargetkan peliharaan murid-murid Madoka. Musuh baru klub detektif Madoka masih bebas melancarkan aksi, dan mereka justru stuck terhalang lara. Belum memulai investigasi BE sama sekali.

Biasanya Watson akan mewawancarai atau minimal mendekati papan pengumuman, tapi dia berbalik tidak peduli. Sherlock Pemurung itu kehilangan separuh antusiasmenya.

Aku sudah muak berpikir. (*)



N. B. Pendek, ya? Mo gimana lagi. Yg terakhir itu sebenarnya utkku. 'Aku muak berpikir'. 



[END] Detective Moufrobi : Animals CrisisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang