N. B. Kasus kali ini terinspirasi dari KISAH NYATA yang terjadi di lingkungan tempat tinggal author yang akan disetting sedemikian rupa dan meminjam karakter ME & MY UNCLE (halah promosi). Fuh, harusnya ini cadangan untuk S3. Tapi sepertinya aku harus memakainya sekarang.
***HAPPY READING***
"Kamu belum selesai?" [Giloya, 36 tahun.]
"Paman, halaman rumahmu luas, sialan. Aku baru saja mulai. Tolonglah pengertiannya sedikit. Aku sudah sukarela menolong." [Davin, 16 tahun.]
"Kenapa tidak salahkan kebegoanmu kalah catur denganku? Pokoknya cepat selesaikan. Aku lapar."
Giloya masuk ke dalam rumah. Davin gemas hendak melayangkan sapu di tangannya ke pria pongah itu, namun dia urung. Tak mau memicu perang dunia ke-191 antara mereka berdua.
"Ah, si paman tua. Dia hanya menunggu makanan siap jadi. Kenapa malah merengek padaku? Lagian, bukan dia yang memasak. Dia meresahkan."
Srek! Srek! Atensi Davin terbuyarkan oleh suara gesekan yang beradu dengan aspal. Dia berhenti mendumal, menoleh ke sumber suara. Asalnya dari karung yang diseret oleh seorang wanita misterius. Oh, Davin kenal wanita itu. Dia 'populer' di sana.
"Lagi-lagi dia mengeret karung," gumamnya.
Tidak hanya sekali Davin melihatnya, namun berkali-kali. Entah apa isi karungnya hingga dia menyeretnya seperti itu di saban malam. Dilihat dari kejauhan, karungnya tampak berat.
Wanita aneh itu sering terlihat di jam-jam segini, sekitar pukul 7-8 malam. Agaknya bobot karungnya terlampau berat dipikul hingga dia tak punya pilihan selain menyeretnya di tanah.
Karena dia terkenal di wilayah tersebut, bukan dari segi positif melainkan penilaian negatif, warga menyebutnya 'Wanita Bungkuk Penggila Karung'. Julukan itu tak berlebihan dan cocok untuknya.
Ada juga isu burung, wanita itu pernah mengalami kerasukan dan melukai kedua putranya yang masih kecil. Tentu saja Davin tidak percaya.
"Kerasukan? Seriously? Wkwkwk, memangnya kita sudah berada di zaman apa? Ada-ada saja rumor kuno tak berdasar." Davin geleng-geleng kepala.
"Kenapa malah bermonolog?" celetuk Giloya mengemil cumi kering. "Lanjutkan pekerjaanmu."
"Iya, iya! Paman duh tak sabaran. Aku mau buang sampah dulu," omel Davin melangkah geram ke tempat pembuangan sampah di luar pagar. Sesekali dia ingin banget menghajar Giloya, tapi apa daya? Pria itu sangatlah kuat dan pro. Bisa-bisa Davin duluan yang kena banting.
Tak sengaja Davin dan wanita itu saling bertatapan (dia berhenti di dekat tong sampah). Davin sontak menelan ludah gugup. Dia memang bilang tidak takut, namun cara wanita itu memperhatikannya begitu lekat dan mengintimidasi.
Bip! Jam tangannya menyala. Denyut nadinya mengalami peningkatan. Cowok itu berpegang ke pagar rumah, mengatur napas yang sesak.
"Kamu baik-baik saja? Kudengar kamu baru pindah ke sini karena masalah kesehatan." Tidak disangka wanita itu mau membuka obrolan dengannya. Intonasi khawatir, namun mimiknya tidak berkata demikian. Sangat kontras.
"Y-ya, saya tidak apa-apa. T-terima kasih sudah bertanya..." Matanya menelusuri ke bawah, terbelalak melihat bercak darah di kantong karung. Bip! Bip! Bukannya berhenti, jamnya makin berbunyi nyaring. Tidak, ini bukan perasaan takut. Dia hanya penasaran. Ya! Cuman kepo.
Tiba-tiba Davin teringat rumor lainnya.
"Kalau kamu bertemu dengan wanita misterius menyeret karung aneh, lebih baik jangan berbicara dengannya. Orang-orang bilang dia psikopat."
"Kamu yakin baik-baik saja, Nak?"
"I-iya! Saya sangat sehat! K-kalau begitu saya permisi dulu," tutup Davin bergegas mengunci pagar, berlarian kecil ke teras rumah. Tidak berani menoleh lagi. Jamnya terus berbunyi kencang.
Pintu rumah tertutup.
"Ada apa denganmu?" Giloya mengernyit melihat Davin berkeringat dingin, tampak pucat. Seolah habis dikejar anjing atau rentenir galak.
"A-ah, tidak ada! Aku akan segera memasakkanmu makan malam!" sahut Davin cengengesan paksa.
Setelah pamannya itu pergi ke belakang, terdengar suara ketukan dan gerendel pintu yang dibuka perlahan. Davin yang bahkan belum selesai memperbaiki ritme napasnya, gemetar menoleh ke celah pintu.
Adalah wanita itu. Menatapnya horor.
"AAAAAA!!!"
-
Pukul dua siang, jam istirahat kedua. Angin mengembus sepoi-sepoi. Gorden jendela berkelepak. Cahaya matahari tidak lagi seterik musim panas. Suasana yang pas untuk molor.
Watson berada di klub sendirian. Dia tidak tidur, narkolepsinya juga sedang tak kambuh. Dia hanya merebahkan kepala ke meja dan menyangganya dengan lengan. Tatapannya lurus pada genta angin berbandul paus yang dibeli Aiden. Benda itu ditiup angin hingga menimbulkan suara gemerincing yang membuai. Perlahan dia memejamkan mata.
Brakk!!! Sampai Kapela meletakkan beberapa dokumen ke atas meja membuat Watson terlonjak.
"Nahhh, aku sudah mengumpulkan semua biodata murid-murid Madoka yang kehilangan hewan peliharaannya. Ternyata memakan waktu lebih lama dari perkiraanku. Aku harus mewawancarai mereka satu per satu! Jadi detektif itu berat ya."
Sherlock Pemurung itu berhenti melamun, mencomot satu arsip. "Siapa yang menyuruhmu? Ini lumayan banyak. 12 orang kah."
"Tidak ada yang menyuruhku kok. Aku melakukannya karena tugasku sebagai detektif," kata Kapela senyam-senyum. "Bagaimana? Apa aku sudah resmi diterima di klub ini, Kak?"
Ini pemandangan yang absurd. Lihatlah, di sebelah kiri ada Kapela dengan latar belakang cerah. Sementara di sebelah kanan ada Watson dengan latar belakang suram, pengunungan es. Apa pun itu mereka berdua sama sekali tidak cocok.
Kening Watson berkerut. "Dantorone Doripem, kehilangan kucing betina. Apa kalian bersaudara?"
Kapela dengan super berlebihan menutup mulut. "Demi kerang ajaib, k-kenapa Kak Watson bisa tahu?! Ngaku! Kakak pakai ilmu hitam, kan?!"
Ah, benar toh. "Bukan begitu. Bentuk kening dan simetri wajah kalian sama. Dan satu lagi, aku merasa familiar dengan garis wajah kalian." Lagian ini Watson lho. Si nomor satu penentang keras kemampuan mistis.
"Kakak hebat sekali. Padahal tidak ada satu pun yang sadar tentang itu! Mungkinkah kakak punya mata ajaib yang bisa mengetahui banyak hal?!"
"Tidak. Kebetulan saja aku jadi MC-nya."
Kapela tersenyum polos, menelengkan kepala bingung. MC? Apaan tuh? Pembawa acara?
Entahlah Watson ingin melakukan apa. Haruskah dia memulai penyelidikan Butterfly Effect? Tapi woi, pikirannya masih berkelana ke sana-sini. Semenjak kematian Violet, detektif pemuram itu keseringan melamun sambil memperhatikan gantungan kaca ornamen paus.
"Tapi sebenarnya kenapa pelaku membunuh binatang-binatang lucu tak bersalah? Apa dia mengidap penyakit tertentu? Semacam suatu elemen yang menyerang psikologinya."
"Aku tidak tahu," kata Watson datar.
Kapela berhenti membaca dokumenter hasil kegigihannya, mengangkat kepala, memandangi detektif muram itu yang kembali menatap kosong ke arah mainan paus di jendela.
Ada yang aneh dengannya. Kapela masih ingat perkataan Aiden: jika Watson berjumpa kasus, dia akan 'kegirangan' atau semangat lah sebutannya.
Ah, dasar Kapela bodoh. Kenapa dia masih bertanya. Tentu saja Watson jadi linglung begitu karena kematian sahabatnya. Kapela butuh sebuah percakapan yang bisa menarik detektif muram itu.
Aha! Bagaimana kalau ini?
"Apa kak Watson tidak penasaran kabar Papa, ah bukan, maksudku Inspektur Tuttle."
Sontak kepala Watson menoleh. (*)
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Detective Moufrobi : Animals Crisis
Mystery / ThrillerBUKU KEDUA dari 'Kisah Watson' {WARNING: It is advisable to read the first book!} Watson pulang ke kota asalnya, New York. Hal itu meninggalkan jejak kentara bahwa Klub Detektif Madoka kekurangan orang. Tapi tidak mengapa, tak ada kejadian serius ya...