30 - Dear, Mas sepupu!

2.7K 118 12
                                    

Happy Reading!

°°°

Abi merasa kalah. Ah, lebih tepatnya mengalah.

Ia sudah yakin sejak awal kalau memang dirinya tidak bisa menyatakan perasaannya pada Bintang. Seolah juga banyak hal yang mendukung hal itu. Hingga akhirnya seperti ini.

Malam ini ia akan kembali ke Yogyakarta, tentunya dengan kedua orangtua nya juga. Bintang belum mengetahui hal ini karena gadis itu pulang bersama Danu. Sampai saat ini belum ada di rumah karena Cia, anak Danu, yang tiba-tiba rewel tak mau Bintang pergi.

Abi menarik napas panjang. Ia mengambil kopernya yang ada di atas lemari, lalu memasukkan pakaiannya. Sedikit bersyukur malam ini ia kembali ke Yogyakarta. Karena rasanya kalau bertemu Bintang itu sakit.

Tau rasa, Abi kini yang harus bersabar. Ia harus merasakan betapa sabarnya Bintang dulu-dulu padanya. Sesak memang.

Beberapa menit kemudian, Abi selesai menata bajunya. Menutup koper perlahan, lalu menarik koper itu hingga berada di dekat pintu. Seharusnya ia keluar dari kamar, tapi Abi justru kembali terduduk di tepi kasur.

"Kalau jalannya begini, ya sudah, Bi. Aku ikhlas," ujar Abi sendiri.

Sampai beberapa saat melamun, Abi bangun dari duduknya. Kakinya melangkah keluar kamar bersamaan dengan perasaannya yang pedih.

"Loh Abi? Bunda 'kan udah bilang, kamu di sini aja dulu," tegur Rumi yang melihat Abi membawa koper.

"Ikut pulang aja, Bunda," balas Abi.

Rumi menggelengkan kepalanya, "Enggaklah, Bunda gak pamitin kamu tadi. Cuma Ayah sama Bunda aja."

"Bunda," panggil Abi dengan nada yang terdengar lelah. Berbeda dengan Abi biasanya.

Sadar akan perbedaan anaknya, Rumi mendekat dan meraih lengan Abi. Lalu, mereka berdua duduk di kursi. Abi memijat pelipisnya, lelah.

"Kalau kamu ikut pulang, Bintang nanti nyariin kamu," ujar Rumi

"Justru itu."

"Kenapa, cah bagus? Bintang marah sama kamu?" Abi menggelengkan kepalanya.

"Bintang nggak bakal nyariin Abi, Bun. Dia pasti lagi sibuk sama calon suaminya itu," ucap Abi sesak.

Ya bagaimana gak sesak rasanya? Tapi Abi salah sendiri juga. Kenapa gak mengungkapkan perasaannya lebih dulu?

"Loh? Nggak juga, Bi. Bintang juga belum jawab lamaran laki-laki tadi."

"Abi yakin dia pasti mau, Bun."

"Berarti bagus dong! Kamu secepatnya nyusul Bintang ya," ujar Rumi.

"Maksudnya?"

"Dulu, Bunda kira kamu bakalan lebih dulu punya calon pendamping daripada Bintang. Tapi sekarang justru kebalikannya."

Rumi tersenyum hangat pada Abi. Hal itu mengingatkannya pada suatu hal kalau segalanya tak bisa selalu sesuai dengan harapan. Dan tidak bisa berharap lebih.

Dear, Mas Sepupu! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang