28 || Zanita:[The Queen of Phoenix]

1.1K 90 2
                                    

Happy reading 💜










Bulu mata lentik yang memayungi bola mata indah. Pancaran penuh kehati-hatian terpancar di sana. Hidung bangirnya memerah, dipastikan karena menangis sebelumya. Dan, Enzi sulit memalingkan diri dari bibir ranum Zanita yang tengah sibuk mengobatinya sekarang.

Enzi merasa detak jantungnya hampir terdengar saking kencangnya berdetak. Tubuhnya menegang saat tangannya yang terluka mendapat tiupan lembut dari gadis di depannya. Enzi memaki. Menahan diri sesulit ini. Teringat, alasannya jarang mengunjungi Paris dan lebih memilih mengawasi Zanita dari jauh adalah karena ia tak percaya pada kontrol dirinya sendiri. Enzi takut salah langkah dan berakhir menyeret Zanita pulang.

Namun kini berbeda, dirinya tak perlu menahan diri atau menunggu karena saatnya telah tiba. Saat di mana ia akan membawa ratunya pulang.

"Kamu harus ke dokter. Biar dapat penanganan lebih baik." Kalimat yang keluar dari mulut Zanita membuat Enzi tersadar dari pikirannya.

"Ini cukup." Jawabnya beralasan.

Zanita menggeleng tegas. Sekarang memasang perban terakhir di tangan Enzi. Lukanya cukup parah. Zanita menyesal karena dirinya lah penyebab luka itu hadir.

"Aku takut ada apa-apa. Aku cuma ngasih penolongan pertama. Maaf, Enzi."

"Gak perlu minta maaf."

"Jangan ngomong gitu. Aku salah udah lukain kamu. Bahkan menurutku kata maaf masih gak cukup."

"Hmm... yeah," Enzi menatap tepat di mata Zanita. Gadis itu menunduk cepat.

"Aku anterin ke dokter sebagai permintaan maaf?" Nada suara Zanita terdengar ragu.

Ujung alis Enzi berkerut. Tangan kanannya naik menyentuh dagu Zanita agar gadis itu kembali menghadapnya.

"Aku bakal lebih senang kalau kamu mau minta maaf dengan cara lain."

"Gimana?"

Enzi menyeringai dalam hati. Iblis dalam dirinya seolah berteriak sekencang-kencangnya. Jangan salahkan dia memanfaatkan situasi.

"Aku bakal suruh dokternya datang ke sini. Tapi kamu yang ngerawat aku nantinya."

"Hah?"

"You know, sulit hidup dengan satu tangan."

"Kamu mau aku jadi baby sitter?"

Enzi terkekeh. Suara serak basah yang sangat menggoda hingga Zanita sulit menelan saliva. Relungnya berkata bahwa ia baru saja masuk dalam jebakan.

"Perumpamaan yang bagus." Zanita mengernyit.

"Ditambah, aku pengen kamu nurut."

"Maksudnya?"

Mengedikan bahu, Enzi menarik tangan Zanita agar lebih dekat dengannya. Sofa dalam ruang kerjanya ini terlalu luas untuk mereka berdua. Enzi membenci jarak yang tercipta dengan ratunya.

Sementara Zanita mencari aman dengan menahan bahu Enzi. Mata mereka yang bersiborok membuat ia seolah bisa menebak pikiran Enzi.

Zanita : [The Queen of Phoenix]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang