Happy reading 💜
Setelah mengakhiri aktivitas kerja mereka yang dilakukan di akhir pekan, keempat pria itu baru bisa melakukan makan siang yang sebenarnya sangat terlambat. Mereka makan sambil sesekali mengobrol yang kebanyakan di dominasi oleh Abima dan Rafa. Reza dan Enzi lebih banyak mendengarkan.
Sambil menenteng kaleng minuman isotonik, Abima bangkit dari kursi lalu di susul Rafa. Mereka mendengar deru mesin mobil yang baru sampai. Itu pasti milik para gadis yang tadi pamit ingin pergi ke butik. Keduanya tertarik mendekat saat mendengar suara heboh para gadis itu.
Reza memasukkan sampah kaleng terakhir ke dalam plastik. Lalu menyimpannya di bawah meja agar mudah di bersihkan. Enzi berjalan pelan ke sofa tunggal tempat ia menyimpan kaos oblongnya. Ia memakai benda itu untuk menutupi tubuh atasnya yang sejak tadi polos. Lalu berjalan beriringan bersama Reza untuk keluar dari ruang yang sering menjadi tempat rapat itu.
Bisa dibilang keduanya lumayan banyak menghabiskan waktu bersama. Kebanyakan karena urusan pekerjaan. Apalagi setelah Phoenix pulang ke Indonesia. Namun banyaknya waktu yang mereka lalu itu tak serta Merta membuat keduanya memiliki banyak topik untuk dibahas.
Entah karena Enzi yang terlalu pendiam, atau karena Reza yang kurang pandai berbicara kecuali memang perlu. Yang pasti perselisihan yang dulu mendarah daging sejak mereka kanak-kanak telah hilang. Terganti dengan perasaan akrab dan damai. Sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi orang-orang seperti mereka.
Menuruni tangga, Reza melirik Enzi singkat sambil berdehem.
"Lo... Apa yang Lo omongin sama Kinanti semalam?"
Enzi berhenti sejenak di anak tangga terakhir. Menatap Reza dengan sebelah alis terangkat. Enzi menggeleng singkat dan tetap melanjutkan langkah.
"Penasaran?" Balasan Enzi yang tak bisa disebut jawaban itu membuat Reza membuang nafas kesal.
"Tinggal jawab apa susahnya sih?"
"Bukan sesuatu yang penting."
Keduanya sampai di ruang tengah. Pemandangan para gadis yang sibuk berceloteh tentang jalan-jalan singkat mereka langsung tertangkap oleh mata.
Enzi mendekati Zanita yang tengah tertawa. Ia menyelipkan sebelah tangan kekarnya di pinggang sang gadis. Dagunya langsung bersandar nyaman di atas puncak kepala Zanita. Wangi Zanita yang perlahan mengelilinginya membuat Enzi nyaman. Tak tahan, wajahnya langsung bersarang di tengkuk gadis itu. Menciumnya mesra.
Zanita yang tak ada persiapan menghadapi kekasihnya itu hanya bisa menyikut perut Enzi pelan. Ia merasa tak enak di tonton oleh teman-temann mereka. Meski sekarang mereka sedang sibuk masing-masing.
"The dress is very beautiful. Trust me, when she wear it, Flora look so damn pretty."
Menangkap maksud Valencia lewat gerakan bibir, Flora tak tahan untuk menyenggol lengan gadis itu pelan. Memasang tampang memelas agar Valencia berhenti menggodanya. Gadis yang menjadi kekasih Reza itu malah tertawa.
"Even if you didn't say it, I already knew it," ujar Rafa dengan senyum tipis.
Kini Zanita melempar isyarat pada Flora dengan senyum menggoda. Flora yang tak tahan terus di goda cepat-cepat mengalihkan perhatian dengan meminum jus yang dibawakan pelayan.
"Jalan-jalan kalian sangat seru rupanya." Komentar Reza. Lelaki itu mengulurkan tangan yang langsung disambut Valencia. Keduanya duduk di sofa panjang.
"Ya, kami menikmatinya. Tadi kami juga sempat singgah di pusat perbelanjaan. Kami membeli beberapa sepatu dan tas. Kau harus melihatnya!" Valencia tak berhenti tersenyum saat menjelaskan. Kini ia juga antusias membuka beberapa paper bag berisi belanjaan mereka untuk ditunjukkan pada Reza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zanita : [The Queen of Phoenix]
RandomJika ada yang bertanya pada Zanita, apa hal yang paling ia sesali dalam hidupnya, maka Zanita akan menjawab, bahwa meninggalkan cintanya adalah penyesalan terbesar yang ia punya. Takdir seolah mempermainkan. Bagi gadis penuh luka sepertinya, Enzi ad...