45 || Zanita:[The Queen of Phoenix]

777 46 0
                                    

Happy reading 💜






Seorang pria dengan kemeja putih yang membalut tubuh proporsional nya itu tampak menggaruk ujung alisnya dengan sudut bibir berkedut. Kalau tidak salah mengira, mungkin sudah setengah jam lebih berdiam diri dengan posisi yang sama. Di ruangan Enzi, yang baru kali ini ia masuki. Tak seperti ruangan biasa, ruangan ini lebih kecil di banding dengan ruangan yang mereka pakai berdiskusi. Namun, perabotan dalam ruangan ini terbilang mewah dan antik. Tidak sesuai dengan selera Enzi.

Sadewa, pria yang memiliki kesabaran setipis kertas itu duduk di kursi yang menghadap meja kerja Enzi, di mana pria itu sejak tadi fokus membaca laporan yang ia berikan.

"Agha?"

Bagus, tepat di menit ke-45 Enzi akhirnya bersuara. Dan hanya menyebutkan satu nama.

"Dia masih butuh waktu buat ciptain penawarnya." Ucap Sadewa.

"Berapa lama lagi?"

"Seminggu. Pelayan itu bakal tetap dalam pengawasan. Kita butuh dia buat tahu siapa pemberi obat itu yang sebenarnya."

"Tiga hari." Alis Sadewa langsung menukik.

"Seminggu."

"Oke, besok."

"Iya. Tiga hari, sialan. Iya!"

Enzi mengangguk samar. Sebelum meletakkan kertas laporan Sadewa di atas meja. Pria itu membuka dua kancing teratas kemejanya. Berusaha menahan kekesalan.

"Ada kabar dari indo?"

"108 anggota Phoenix di sandera di Azkaban. Aron masih memburu sisanya. Sekitar 11 orang lagi. Identitas mereka udah gue sertain." Sadewa menunjuk berkas lain di atas meja Enzi.

"Kebanyakan diancam dengan cara yang sama seperti Tirta."

Miris. Kekuasaan Arthur lebih ditakuti dari pada Raja mereka yang sesungguhnya. Padahal saat menawarkan kesetiaan, mereka tahu benar sisi gelap seorang Enzi. Mereka tak mungkin menjadi Phoenix jika tak memenuhi standar kualitas. Sayangnya itu semua belum cukup, untuk membeli hidup mereka yang dulunya sampah. Terbukti dengan mudahnya mereka berbalik menodong dengan senjata.

"Hukum mereka sesuai aturan. Pastikan gak ada lagi bibit-bibit macam mereka. Kita harus lakuin pembersihan." Titah Enzi dengan nada tenang namun tegas. Hal yang diangguki oleh Sadewa.

"Gimana soal gadis itu?"

"Maksud Lo, Flora?" Sadewa mengusap belakang kepalanya dengan ekspresi lelah. "Masih gak mau buka mulut. Kalau sesuai tanda yang ditinggalin Tirta, harusnya ia punya sesuatu tentang Rico."

"Lo gak mikir mau nanya sendiri ke dia? Mungkin dia mau buka mulut kalau sama Lo?" Celutuk Sadewa asal.

"Lo bisa pulang kalau urusan di sini selesai."

Sadewa menyeringai. "Jangan tarik kata-kata Lo."

"Hm."

Pantas Sadewa jengah. Hampir tiga bulan menghabiskan waktu di Paris, ia mungkin hanya sekali dua kali memiliki waktu untuk kembali ke Indonesia. Tidak mungkin Sadewa tak merindukan gadisnya yang mungkin sedang mengadakan meet and great saat ini.

Begitupun Agha yang bekerja keras dan hanya tidur beberapa jam. Tanggung jawab memang harus diselesaikan.

Ketukan pintu di susul kehadiran Abima dan Reza membuat Sadewa menoleh. Kecuali Enzi yang kembali berkutat dengan pekerjaannya.

Abima menyapa Sadewa dengan senyum tipis. Dibalas decihan oleh pria itu. Reza sendiri lebih tertarik menduduki sofa sambil merenggangkan dasi yang serasa mencekik leher.

Zanita : [The Queen of Phoenix]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang