Siapa itu Phoveus?
Pada zaman modern Moniyan, sebagian besar dari mereka yang dijatuhi hukuman mati akan dikirim ke medan perang. Diberikan kematian yang begitu mulia adalah bentuk kemurahan hati terakhir dari Moniyan untuk para penjahat yang tak termaafkan ini.
Phoveus dikurung di penjara dalam kereta bersama dengan beberapa narapidana lainnya. Mereka melihat dunia di luar jeruji besi dengan ekspresi kosong. Ini adalah pemandangan yang sangat menyedihkan. Sejauh mata memandang, tidak ada apa-apa selain tulang-tulang dari orang mati dan dunia yang gelap.
Oleh karena itu, tempat ini disebut Barren Land, Land of Despair.
Memikirkan peristiwa yang menyebabkan hukuman penjaranya, Phoveus semakin marah hingga dia tidak dapat menahannya lagi. Phoveus memiliki ambisi yang tinggi, dan berencana menggunakan kekuatannya untuk merebut kembali kejayaan Moniyan Empire.
Hingga saat ini, Phoveus telah berjuang dan mencapai kejayaan dalam pertarungan. Pencapaian ini akan membuatnya segera menjadi Kapten untuk barisan timur Moniyan Empire. Namun, putra dari seorang pejabat tinggi yang mendapatkan posisi ini oleh ayahnya.
Dikuasai amarah, Phoveus mencari putra pejabat ini untuk melawannya dalam pertarungan duel, namun Phoveus tidak dapat menahan amarahnya dan membunuh pria itu, sehingga berakibat hukuman penjara baginya. Sejak saat itu, Phoveus mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi sebagai narapidana.
Phoveus menenangkan diri dan menyadari bahwa mereka telah sampai di barak. Tentara mendorong mereka turun dari kereta dengan tombok panjang seperti ternak, dan mereka membentuk satu pasukan dari anggota baru, tim terpidana mati.
Sebagai ganti dari pakaian prajurit yang biasa-baju besi yang bagus dan helm-para narapidana tidak diberikan perlengkapan untuk pertahanan dan hanya diberikan pedang panjang yang tumpul. Namun tugas mereka adalah mencegah serangan kekuatan iblis pertama dan paling kejam.
Terompet perang akhirnya dibunyikan, Phoveus berdiri di baris pertama paling depan dan menyerang makhluk yang keluar dari kedalaman Abyss. Seorang teman jatuh ke tanah dan mati di sampingnya, diikuti oleh yang lainnya. Menginjak tanah berawa, Phoveus menyadari tanah itu dipenuhi dengan darah.
Para prajurit iblis sangat brutal dan tak tertandingi. Tidak terlihat seperti peperangan, adegan tersebut lebih menyerupai pembantaian, dan Phoveus memahami bahwa satu-satunya kesempatan untuk selamat dari pembanntaian yang kejam ini adalah dengan menjadi salah sat dari mereka.
Tidak peduli berapa banyak musuh yang dia musnahkan di hadapannya, yang lain selalu bangkit untuk menggantikan mereka dan mendatanginya tanpa henti. Phoveus sangat ingin memiliki kekuatan yang lebih besar untuk bertahan hidup dan mengendalikan takdirnya sendiri.
Phoveus menolak untuk menyerah dan tidak menerima kekalahan. Sementara lengannya sekarang kelelahan. Sementara lengannya sekarang kelelahan karena pertarungan tanpa henti, kakinya lemah, kekuatan dari keinginannya yang memaksanya untuk terus bertarung.
Sebelum dia menyadarinya, Phoveus telah menjauhkan diri dari pasukan utama untuk mencapai batu besar yang misterius. Setelah membelah kepala musuh yang terakhir, Phoveus akhirnya jatuh ke tanah karena kelelahan. Ketika Phoveusa mengangkat kepalanya, dia melihat sesuatu seperti cahaya keunguan, cahaya yang bersinar tidak jauh darinya.
Tepat pada saat itu kekuatan aneh mengangkat tubuh lemah Phoveus dari tanah, dan menuntunnya bergerak sekali lagi. Ketika Phoveus berhenti, dia menemukan sesuatu yang tak biasa terletak di hadapannya di antara batu-batu misterius. Sesuatu yang tampak seperti sangkar. Phoveus ragu sejenak sebelum memutuskan untuk membawanya, namun setelah menyentuhnya, cahaya aneh di dalamnya padam dan menghilang.
Dalam perjalanan kembali, Phoveus bertemu dengan sekelompok kecil prajurit yang juga terpisah dari pasukan utama. Mereka menyambutnya dengan hangat. Meskipun tidak tertarik untuk membawa teman-temannya yang lemah, Phoveus tahu bahwa dia tidak akan dapat bertahan sendirian di Land of Despair.
Tiba-tiba Phoveus mendengar suara aneh yang berkata “Lihatlah aku, Phoveus.”
Siapa itu, sambil menolehkan kepalanya untuk mencari sumber suara itu, Phoveus menyadari bahwa tidak ada orang lain yang mendengarnya, atau bahkan bersuara.
“Dengarkan suara hatimu, Phoveus. Kamu menginginkan kekuatan yang hebat..,” suara aneh tersebut muncul kembali.
Gumaman pelan terus melintas ke arah Phoveus, dan terdengar di dalam kepalanya. Akhirnya Phoveus menyadari bahwa sumber suara tersebut datang dari roh yang terkurung di dalam sangkar yang dibawanya, benda yang memancarkan cahaya aneh tadi.
“Ya.. Terimalah kekuatanku.. Tidak ada yang dapat menghentikanmu..”
Seolah-olah telah mendengar pikiran terdalamnya, suara aneh itu terdengar sekali lagi.
Lalu, Phoveus melanjutkan kehidupannya dengan kelompok kecil itu selama beberapa hari, kata-kata dari roh yang terkurung itu bergema di pikrannya. Phoveus melilitkan rantai sangkarnya erat-erat di bahunya, mendekatkannya untuk membentuk koneksi sedekat mungkin. Phoveus bahkan mulai berbicara langsung dengan roh, tidak lagi mampu menahan hasrat membaranya untuk mendapat kekuatan.
Aroma daging panggang dan minuman keras tercium diiringi oleh nyala api yang membara, suara tawa mereka yang keras. Semua hal itu tergabung untuk menyerang indranya. Sekarang, dia telah membuat keputusan, dan sudah tidak tahan lagi bergaul dengan orang setengah gila seeperti mereka.
“Tunggu apa lagi? Berikan penglihatanmu padaku, dan kekuatanku akan menjadi milikmu.”
Kali ini, ketika sara itu mulai terdengar kembali, Phoveus tidak ragu. Phoveus berdiri dan mengangkat sangkar itu tinggi-tinggi. Di dalamnya, roh itu membentuk mata yang terbuka untuk memancarkan cahaya ungu yang membutakan. Pancaran dari kekuatan yang hebat membanjiri seluruh tubuh Phoveus dan menyebar ke sekitarnya.
Namun sekarang, kekuatan tidak wajar yang ditanamkan di dalam dirinya memungkinkan Phoveus merasakan segala sesuatu di sekitarnya dengan luar biasa jelas.
Phoveus terlahir kembali. Phoveus menndatangi kelompok prajurit itu dan membunuh setiap orang tanpa tersisa. Kekuatan baru yang mengalir di dalam dirinya membuat Phoveus merasa tak tertandingi, dan Phoveus mendongakkan kepalanya sambil tertawa.
Segala penderitaan yang telah dia alami sekarang telah tergantikan oleh kebahagiaan yang luar biasa, namun itu masih jauh dari cukup. takdirnya masih tergantung oleh sangkar yang dia pegang.
“Ini adalah aku, Astaros, God of Terror. Pergilah ke dalam Dread Cave, dan bangkitkan tubuhku yang tertidur didalamnya, Phoveus. Maka aku akan memberimu kekuatan yang lebih besar yang tak tertandingi!“
Phoveus memandang sangkar tersebut dengan arogan, dan mendengus dengan menghina. Kemudian, dia pergi melakukan perjalanan ke arah selatan menuju Abyss.