Chapter 5

123 15 3
                                    

Lona menatap Regan tengah menggeliat di atas ranjang dengan tidak nyaman. Beberapa kali ia merubah posisinya. Merasa terusik saat berkas sinar mentari menerpa permukaan kulitnya. Regan segera menutupi wajahnya dengan bantal sembari menggerutu tidak jelas. Lona tidak mampu lagi untuk menahan tawanya.

Bagi Lona, Regan itu menggemaskan meski usianya telah menginjak tiga puluh. Cangkang luarnya saja ia terlihat dewasa, didukung dengan suara beratnya yang khas. Perangai yang santun, pembawaan yang tenang, juga karir yang cemerlang menambah nilai lebih pada diri Regan. Di balik itu semua, Regan memiliki sifat yang manja dan sisi kekanakan yang hanya ia tunjukan pada Lona. Ralat, tepatnya Lona dan Dirga―yang jelas tahu apa saja belangnya Regan.

"Nan―"

Lona yang berjalan mendekat ke sisi Regan berniat membangunkannya urung menuntaskan kalimatnya. Regan rupanya sudah bangun dan kini tengah mengecek isi ponselnya.

"Delin mengirim pesan agar aku segera pulang dan sarapan bersama," ujarnya serak dengan kedua mata yang belum terbuka sepenuhnya. Meski demikian Regan tetap berusaha bangun mengumpulkan kesadarannya dengan duduk di tepi ranjang. Memejamkan kedua kelopak matanya sejenak demi meredam pusing meski sudah berkurang.

Sementara Lona masih mematung. Diam menatap Regan tanpa ingin memikirkan lagi soal roti yang telah ia siapkan untuk mereka sarapan. Lona hanya perlu membuangnya dan masalah beres. Seharusnya sesederhana itu, namun kenapa hati Lona serasa dilubangi sekarang?

Regan sadar Lona tidak segera menanggapinya. Meski samar, Regan ingat bahwa Lona masih sempat tersenyum mengamatinya di ranjang, sementara perempuan itu terlihat sibuk di pantry beberapa saat lalu.

Benar saja, kedua obsidiannya menemukan sepasang roti panggang di atas meja telah siap disantap. Pasti Lona menyiapkan itu untuknya dan apa yang Regan katakan jelas melukai perasaannya.

Dasar bodoh! Kenapa Regan tidak mengantisipasi hal seperti ini. Seharusnya ia lebih peka.

"Lona, maaf―"

"Nggak masalah."

"Lona―"

Regan kehilangan kata-katanya saat melihat roti panggang di atas meja tersebut kini sudah berpindah ke tempat sampah.

Lona kembali menatapnya datar. "Nah, masalahnya sudah selesai."

Jelas vokal Lona terdengar sinis. Dalam suasana hati yang baik saja cara bicara Lona terkesan judes, apalagi jika sedang terpancing emosinya seperti sekarang.

"Kenapa kamu buang?" Regan mengusap wajahnya kasar. Ia masih merasa pengar karena semalam dan kini kepalanya semakin pening karena tingkah Lona. "Kita masih sempat memakannya bersama kalau hanya roti."

"Hanya roti?"

Ampun, Regan salah bicara lagi.

"Aku sudah kehilangan selera," tukasnya dingin. "Cepat pergi. Aku sedang malas berdebat, apalagi melihat wajahmu lebih lama lagi di sini."

Menurut riset, bertengkar di pagi hari dapat menghancurkan mood sepanjang waktu pada hari yang sama. Lona yang sudah temperamental tentu tidak ingin mencari perkara yang membuat darahnya kian mendidih.

"Kamu marah?" tanya Regan terdengar bodoh.

"Kecewa," dengusnya. "Aku yang mengurusmu semalaman, tapi saat kamu bangun yang ingin kamu temui malah istri kamu!"

Lona memekik kaget saat Regan menarik tubuhnya. Membawanya ke atas pangkuan Regan dengan kedua tatapannya yang berubah jahil. "Bukannya kamu senang aku repotin kayak semalam?"

Lona menatap Regan sebal. "Siapa juga yang suka direpotin?"

"Tadi malam kamu ambil kesempatan buat cium-cium aku 'kan?"

𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang