Chapter 56

46 9 7
                                    

Sudah kesekian kali, Abraham menemukan lili oranye menghampiri kediamannya. Bagai teror yang tidak berujung, kali ini bersamaan dengan foto-foto yang menunjukkan pesta perkawinan Windelina. Siapa pun pengirimnya, ia pasti sedang berusaha memvalidasi eksistensinya di hadapan Abraham.

Lembar terakhir adalah gambar dirinya bersama sang putri saat perayaan ulang tahunnya minggu lalu. Abraham terkejut menyadari bahwa semua foto ini diambil dari jendela kamar pribadi Windelina dan Regan.

Tidak, jika dipikir ulang, semua ini memang sengaja diambil dari kediaman Regan. Mempertegas bahwa sang pelaku adalah orang di sekitar mereka dan ia berada di pesta yang sama.

Abraham menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi setelah merasa sangat lemas. Mengabaikan kopi paginya yang pasti kini sudah dingin di atas meja kerja. Abraham bahkan sudah melewatkan beberapa hari sarapannya. Kehilangan selera karena setiap bangun membuka mata, hal pertama yang ia pikirkan adalah nasib Windelina. Berpikir mungkin ini adalah karma yang berimbas pada nasib putrinya.

Windelina mungkin sudah mulai mengendus hal ini namun memilih diam. Terlebih ini sangat sensitif. Tapi tentu itu bukan alasan bagi Abraham untuk tinggal diam.

Abraham tidak bisa mengabaikannya lagi. Nomor ponsel yang selalu terselip di balik kertas yang ia terima kini ia ketukkan ke layar ponselnya.

Siapa pun perempuan itu, Abraham ingin menemui dan membereskan masalah ini.

Satu hal lagi, apa alasannya menyampaikan senua ini pada Abraham? Ia yakin ada sesuatu yang diinginkan darinya.

**

"Mulai hari ini lo berhenti magang."

Lona tahu, Dirga tidak akan menunda  untuk mengambil keputusan ini sebelum bencana yang Lona datangkan semakin besar. Lagi-lagi demi menghindari Regan, Dirga mengatakan ini secara internal saat keduanya berada di coffe shop tidak jauh dari gedung kantor mereka. Dirga selalu mengatur agar Lona tidak menginjakkan kakinya di kantor saat Regan berada di tempat yang sama dan sebaliknya.

Padahal Dirga tidak perlu repot melakukannya karena Lona memang masih memblokir kontak Regan. Sengaja membatasi akses komunikasi di antara mereka sementara waktu.

"Oke," balas Lona datar.

Sama sekali tidak ada perlawanan apalagi melayangkan protes. Sejak awal ia memang tidak ingin memperpanjang masa magangnya.

"Tapi kalau Om Hartono nanyain gue gimana?" tanya Lona sombong.

Dirga mendecih remeh. "Lo nggak sepenting itu."

"Kalau Mas Bima?"

Dirga mengumpat dalam hati. Ia sampai lupa jika sepak terjang Lona sudah berada di luar pantauannya. Teringat ia tidak mengindahkan ultimatum Dirga untuk menjauhi lelaki itu.

"Walaupun lo sudah nge-cut gue, kalau butuh bantuan tinggal bilang aja," sambung Lona.

Mencegah Dirga untuk berasumsi buruk mengenainya─padahal apapun yang Dirga pikirkan tentangnya memang sepenuhnya benar. Tapi sungguh, Lona menawarkan bantuan secara tulus untuk Dirga. Semenyebalkan apapun lelaki itu, Lona tahu dia sebenarnya baik.

Dirga tidak menanggapinya. Ia memilih menyesap kopi hitamnya.

Jeda untuk beberapa saat, keheningan canggung menyelimuti mereka. Hingga akhirnya Lona memilih bersuara lebih dulu.

"Dir, gue boleh nanya nggak?"

"Hm."

"Kita temen bukan sih?"

Dirga diam. Jika dulu dengan tegas ia mendeklarasikan diri tidak sudi berteman dengan Lona, maka sekarang ia bimbang. Tidak menampik meski hubungan mereka bagai tom&jerry, ia sama sekali tidak membenci Lona.

𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang