Chapter 17

66 10 2
                                    

Lona terlihat kerepotan membawa dua minuman dan satu popcorn besar dalam dekapannya.

"Harusnya yang beli dan bawa semua ini 'kan cowok," gerutu Lona.

Regan masih belum menampakkan batang hidungnya di bioskop salah satu mal tempat mereka janjian. Terakhir tadi pagi Lona menghubunginya, mengonfirmasi apakah Regan benar-benar bisa datang mengingat kemarin ia terlihat agak terpaksa.

Lona sebenarnya tidak masalah jika Regan membatalkannya. Itu lebih baik dari pada ia terlihat seperti orang dungu karena menunggu sendirian di tengah kerumunan pasangan di malam minggu. Lona biasanya selalu percaya diri, tapi kali ini rasanya ia ingin menghilang.

Merogoh ponsel di tasnya, Lona berusaha menghubungi Regan yang menghilang sejak tadi siang. Sialnya, pergerakannya yang buru-buru membuat minuman yang ia bawa sedikit tumpah mengenai pakaiannya.

"Sial! Mana baju baru lagi," dumalnya. Lantas menatap gelas satunya yang sudah tidak lagi terisi penuh. "Ini minumannya biar buat Nanta aja yang tumpah."

"Rame banget yang nonton."

"Iya, gara-gara siang ada yang booking satu studio, penontonnya jadi numpuk di jam tayang selanjutnya."

Lona mendengar selentingan karyawan bioskop yang baru melintas di hadapannya. Lona mendengus kesal. Pantas saja jadi seramai ini. Padahal ia sengaja memilih waktu pergantian senja ke petang yang lebih sepi peminat. Agar Regan merasa nyaman bersamanya tanpa takut ketahuan.

"Siapa pun tadi yang sok-sokan nyewa, semoga putus sama pasangannya," umpat Lona kesal. Lebih kesal lagi saat pengumuman pintu studio telah dibuka dan Regan masih belum ada kejelasan.

Lona masih duduk. Menunggu belasan menit sampai akhirnya tersisa hanya dia satu-satunya yang masih di luar.

Lona sudah tidak lagi dalam keadaan bisa memaki atau mencoba lagi menghubungi Regan. Jika karyawan yang berjaga tidak memandanginya heran karena tidak segera masuk, maka Lona lebih memilih pergi sekarang juga.

Sesaat Lona diam. Entah apa yang dia rasakan sekarang, Lona tidak berani mendiskripsikannya dengan jelas. Mau marah juga agaknya kurang pantas mengingat Regan bukan mutlak miliknya seorang. Namun ia bisa menarik kesimpulan, bahwa Regan tidak datang.

Perlahan Lona berdiri, melangkah masuk dengan perasaan tidak karuan.

"Saya lagi puasa, Mas. Makanya bawa minumnya banyak sekalian buat buka sambil nonton film," jelas Lona padahal ia tidak ditanya apa-apa.

***

"Kenapa sih nangis segala nggak penting."

Lona mengusap air matanya yang mengalir tanpa ia perintah. Entah karena pengaruh menstruasinya hingga mudah sensitif, atau memang benar-benar kecewa karena Regan. Sakit sekali rasanya. Tega sekali dia membuat Lona datang sendirian.

Padahal film yang ia tonton bergenre komedi. Semua orang tertawa menontonnya, namun Lona malah mati-matian untuk tidak menangis.

Sampai beberapa saat, terdengar pekikan penonton dari deret bangkunya.

"Kakiku jangan diinjek dong mas!"

"Sorry-sorry."

"Kaki pacar saya juga keinjek lho mas!"

"Maaf-maaf."

Lona tidak bisa melihatnya dengan jelas. Namun ia mengenal persis pemilik vokal berat itu siapa. Ia berjalan mendekat sampai akhirnya mendaratkan bokongnya tepat di kursi milik Regan di sampingnya.

Lona bisa mencium aroma parfum khas milik Regan semerbak dari jaket denim yang lelaki itu pakai. Tidak biasanya Regan berpenampilan sekasual ini. Ia memakai celana pendek selutut, kaos polos yang dibalut jaket denim kebesaran yang belum pernah Lona lihat sebelumnya. Juga topi hitam yang ia pakai dengan cara membalikannya ke belakang.

𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang