"Ilo, kamu tahu caranya mengungkapkan perasaan tanpa harus melisankannya?"
"Bagaimana, Ma?"
Liliana tersenyum menatap putri kecilnya. Sebelah tangannya meraih setangkai bunga lili yang sebelumnya ia rangkai ke dalam vas bunga. Memberikannya pada Lona yang meski kebingungan dengan maksud Liliana tetap menerima lewat tangan mungilnya.
"Cukup berikan dia bunga. Karena setiap bunga memiliki artinya sendiri dan bisa mewakili perasaan kita," jelas Liliana lembut.
Satu hal yang ia sukai dari putri kecilnya, Lona memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Seharusnya perbincangan ini cukup berat dan membosankan bagi anak seusianya. Namun kedua manik Lona justru tampak berbinar penuh minat meminta penjabaran berikutnya.
"Lalu bunga ini maksudnya apa, Ma?"
"Bunga lili putih melambangkan kasih dan cinta abadi yang tulus. Seperti cinta Mama ke Ilo," ucapnya yang berhasil membuat senyum Lona merekah.
"Kalau gitu, misal kita malah ke seseolang, kita halus ngasih dia bunga apa?"
Liliana tergelak mendengar penuturan Lona yang masih belum jelas membunyikan huruf 'r'. Padahal anak seusianya mayoritas sudah bisa melakukannya. Liliana tidak memusingkannya, merasa bahwa setiap anak memiliki waktunya masing-masing dan tidak harus sama.
"Kenapa Ilo harus marah?" Liliana mengusak puncak kepala putrinya gemas.
Lona merengut hingga bibirnya mengerucut. Kedua alisnya bertaut sebal. "Kemalin ada teman yang melebut cokelat Ilo."
"Coklat Ilo 'kan sudah banyak. Tidak ada salahnya berbagi dengan teman."
"Tapi tetap saja Ilo sebal!"
"Ilo, sebagai manusia harus saling memaafkan. Mungkin teman kamu punya alasan, apa kamu nggak coba nanyaian dulu kenapa dia minta cokelat kamu?"
"Dia lapal dan lupa nggak bawa bekal," ungkap Lona lirih. Mulai menyesal dengan perbuatannya kemarin yang malah balas menjambak teman sekelasnya sampai harus dilerai ibu guru.
"Nah, lain kali harus kamu tanyakan dulu alasannya apa. Setiap orang pasti punya alasan untuk melakukan sesuatu," tegur Liliana.
"Dia memang belhak membela diri tapi Ilo 'kan juga belhak mempeltahankan milik Ilo."
Karakter Lona yang keras memang terlihat sejak dini. Liliana sendiri kadang sampai kehabisan kata memberi pengertian pada putri kecilnya. Ia selalu memiliki banyak cara untuk mematahkan argumennya.
"Jadi, bunga apa yang bisa Ilo kasih kalau lagi sebal, Ma?" kejar Lona masih penasaran.
"Bunga lili oranye," jawab Liliana singkat. Ia kembali tersenyum lembut sembari menatap penuh pada kedua manik Lona. "Tapi Mama harap kamu nggak akan pernah ngasih bunga itu ke siapapun."
**
"Siapa yang ngasih bunga ini?"
Lona menatap keheranan pada seikat bunga lili putih yang bertengger di atas makam Liliana. Bunga itu masih kelihatan segar. Mungkin baru diletakkan kemarin atau bahkan pagi ini. Tidak mungkin juga itu bunga dari Bibi Martha. Mereka berkunjung ke kediamannya lebih dulu sebelum kemari dan Bibi Martha tidak mengatakan apapun.
Sementara Kale diam-diam menahan napas. Bibirnya tertutup rapat. Memutuskan untuk mengabaikan pertanyaan Lona. Ia mendahului meletakkan bunga yang sama di makam Liliana. Tidak mengindahkan Lona yang masih menyimpan sejuta tanya.
"Dia pasti seseorang yang kenal sama Mama," simpul Lona. Mengingat lili putih memang kesukaan mamanya. Pasti seseorang yang datang ke sini sengaja dan tahu hal itu. Selama ini, Lona pikir hanya dia dan adiknya yang selalu mengunjungi makam ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯
Romance[ 𝐉𝐉𝐇 𝐀𝐔 ] Tentang Velona Kahesa yang menghalalkan segala cara demi membalaskan dendamnya. Tentang Regananta Jeffrian yang mendua demi meluapkan ketidakpuasan atas keadaannya Tentang Windelina Adelia yang nekat memanipulasi demi mendapatkan cin...