Chapter 10

76 11 2
                                    

Dua hari penuh di Bandung, sebagian besar Lona habiskan di luar bersama Kale. Entah itu hanya sekadar jalan-jalan atau makan. Karena ke tempat wisata di akhir pekan akan sangat menguras energi dan keduanya sepakat akan hal itu. Kale sengaja menolak lembur saat tahu Lona kali ini pulang agak lama di Bandung. Tentu saja Kale hanya ingin menghabiskan banyak waktu dengan kakak perempuannya tersebut saking jarangnya mereka bertemu.

"Kak?"

"Kenapa sih kalau ngomong selalu nggak tuntas?" dumal Lona berdecak sebal. Masalahnya, Lona jadi berdebar duluan menunggu apa yang ingin Kale bicarakan. Atau kalau tidak, ia jadi penasaran setengah mati dan sensasi itu sangat menyebalkan baginya meski hanya jeda sebentar. "Kebiasaan kamu cuma manggil doang nggak langsung bilang butuh ngomong apa!"

Kale tertawa melihat Lona uring-uringan tidak jelas. "Suka aja lihat kalau Kak Ilo mendadak galak."

"Pacarnya Kak Ilo kok betah sih punya pacar judes?" tanya Kale mulai lagi.

"Nggak usah ngungkit itu lagi. Privasi!" Lona memincingkan kedua matanya sinis. "Jadi tadi mau ngomong apa?"

Sebenarnya ia masih penasaran dengan sosok lelaki yang dekat dengan Lona. Namun Kale tahu ia tidak akan mendapat informasi lebih jika menggalinya langsung dari Lona. Jadi ia lebih memilih untuk membicarakan hal lain yang menjadi fokus utamanya.

"Kakak tahu sendiri, sekarang aku sudah punya penghasilan tetap dan tabungan juga meski nggak banyak." Kale menjeda sejenak, melirik ekspresi Lona dari kaca untuk memastikan semua baik-baik saja. Hati-hati lantas Kale melanjutkan. "Gimana kalau setelah Kak Ilo lulus, kita tinggal bareng aja Kak?"

"Tinggal bareng?"

Kedua mata Kale mendadak redup. Senyum yang sejak tadi mengembang kini diganti dengan seulas lengkungan bibir yang kentara dipaksakan. Tersirat kegetiran di setiap silabel yang ia lisankan. "Iya, Kak. Aku pengen kita tinggal bareng kayak keluarga lainnya."

"Sejak kecil kita hidup terpisah. Aku belum pernah ngerasain tinggal bareng sama Kak Ilo," lirih Kale. Begitu lirih sampai nyaris berbisik.

Semenjak kedua orang tua mereka bercerai lalu Liliana meninggal, Kale diasuh oleh Tante Martha―adik bungsu Liliana. Namun ia hanya menyanggupi merawat Kale saja karena keterbatasan biaya. Juga pertimbangan mengenai usia Kale yang masih sangat kecil jika harus menyusul Lona tinggal di panti asuhan. Lona sama sekali tidak keberatan, merasa terbuang atau menyuarakan protes kenapa hanya dia yang dititipkan di panti asuhan. Justru dia yang menawarkan diri untuk pergi, asal Kale bisa merasakan hangatnya berada di tengah keluarga. Apa pun Lona lakukan, asal Kale hidup nyaman lebih darinya itu tidak mengapa. Keadaan yang memaksa Lona untuk bersikap lebih dewasa dari usianya.

"Aku pengen kita sama-sama, Kak. Sudah cukup untuk kita hidup sendiri-sendiri."

"Bukannya nggak mau, tapi aku nggak pengen ngerepotin siapa pun apalagi adik sendiri," jujur Lona.

"Justru karena selama ini aku yang selalu ngebebanin Kak Ilo. Sekarang waktunya aku yang gantian jagain Kakak," bujuk Kale memohon. "Itu pun paling juga sebentar, kalau Kak Ilo nikah, pasti Kakak akan ikut suami Kak Ilo dan kita sudah nggak ada kesempatan untuk tinggal bareng lagi."

Mungkin jika atmosfir di antara mereka tidak sekaku sekarang, dengan mudah Lona akan menjawab lantang 'Ya sudah Kak Ilo beneran nggak usah nikah aja!'. Namun tidak bijak rasanya saat dilihatnya air muka Kale semakin redup.

Kale mendadak murung. Ia terlihat serius soal hal ini. Ia ingin menjaga Lona dan selalu ada di saat Lona mengalami kesulitan. Kale tidak ingin lagi melihat Lona selalu bertahan sendirian dan mengatasi masalahnya sendiri. Baginya, Lona bukan hanya sekadar kakak perempuan tapi juga figur ibu. Lona adalah segalanya untuk Kale. Sama seperti Lona yang selalu ingin melihat Kale bahagia, Kale pun demikian.

𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang