Chapter 48

36 8 0
                                    

"Selamat ulang tahun, Windelina," ucap Bima dengan senyumnya yang memikat. Pantas saja perempuan di luaran sana begitu mudah ia taklukkan.

Ia meraih tangan perempuan itu, kemudian secara mengejutkan mengecup punggung tangannya. Windelina terkesiap. Mengulas senyum canggung ia menarik lagi tangannya dengan cepat. Sealami mungkin tanpa bermaksud tidak sopan. Ia menoleh ke sekeliling, memeriksa keberadaan suaminya yang tidak ada di tempat. Pantas saja Bima begitu berani melakukannya.

Mau heran, tapi ini Bima.

"Terima kasih," balasnya tersenyum canggung. Jelas merasa tidak nyaman.

"Maaf istriku tidak bisa datang. Sebagai gantinya aku datang bersama seseorang."

Bima menggeser tubuhnya, menunjukkan Lona yang sejak tadi memilih berdiri di belakang punggungnya. Manik Windelina melebar berbanding lurus dengan senyumnya. Mengenali perempuan yang kini berdiri di dekat Bima.

"Aku kira kamu nggak dateng," celetuknya sumringah.

"Nggak ada alasan aku buat nggak dateng," ujar Lona setenang mungkin.

Mengulum senyum tipis. Kini Lona lebih mampu mengontrol diri. Berpikir tidak ada gunanya memelihara kegugupan yang tidak beralasan.

"Kalian saling kenal dari mana?" tanya Bima penasaran. Berpikir Windelina yang berasal dari kalangan atas tidak mungkin bergaul dengan mahasiswa tua macam Lona. Tidak bermaksud merendahkan, Bima hanya jujur mengeluarkan isi pikirannya.

"Nggak sengaja ketemu di mall terus kenalan gitu aja," jelas Windelina ringan.

Kontan Bima teringat akan kejadian di mana Lona dicegat masuk saat hendak memasuki salah satu counter. Bima yang mengatur Lona agar dipersilakan masuk tentu tahu siapa tamu VIP yang menyewa tempat itu di waktu yang sama. Jika benar yang Bima simpulkan, dua premis itu saling berkaitan. Agaknya Bima mulai bisa menarik benang merahnya.

Bima mengangkat sebelah bibirnya. Tunggu, kenapa ini semakin menarik?

"Aku kira karena dia bekerja di kantor Regan," celetuk Bima setengah sengaja. Lona meliriknya sekilas. Sadar bahwa Bima mulai menyetir arah pembicaraan mereka.

"Serius?"

Windelina membulatkan matanya tidak percaya. Kemudian menatap Lona dengan tampang lebih antusias dari sebelumnya. "Dunia sesempit itu ternyata!"

Gadis itu benar-benar naif dan polos. Berpikir bahwa campur tangan Tuhan dalam setiap kebetulan itu nyata. Padahal tidak semua demikian, sebagian besar bisa jadi hanyalah skenario campur tangan manusia.

"Ya, dia ikut membantu ngedesain rumah buat Papa yang di Jogja," imbuh Bima. Dari ketiganya, Bima terlihat paling antusias. Sementara Lona memilih membiarkannya terus membeo. Tidak merugikan, justru malah menguntungkan. Lona jadi tidak perlu membuang tenaga untuk membuat Windelina mengenalnya.

"Masak Regan nggak pernah cerita ke kamu, Delin?" tanya Bima memancing. "Dia ini calon arsitek handal lho."

Merasa aneh, Windelina lantas balik bertanya. "Kenapa Kak Regan nggak pernah cerita ya?"

Mendengar nama suaminya disebut lagi, Windelina pun berinisiatif mencari keberadaan Regan. Di saat yang bersamaan, secara kebetulan Regan sedang berjalan ke arahnya. Lelaki itu terlihat baru saja berbincang dengan para koleganya. Berjalan fokus lurus hanya menatap ke arah istrinya. Regan belum menyadari siapa saja yang berada di sana.

"Sayang, maaf tadi aku tinggal lama," ucapnya tersenyum kecut.

Menyapa setiap tamu dengan mendorong kursi roda Windelina setiap saat agaknya cukup merepotkan. Untuk itulah Regan memilih untuk berjalan sendiri di setiap kesempatan. Bukannya jahat, tapi mau bagaimana lagi. Demi efisiensi waktu, kilahnya.

𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang