Chapter 30

46 8 1
                                    

"Ngaco lo! Gue aduin Regan lo godain gue baru tahu rasa!"

Lona mendesis mendengar gurauan Dirga barusan. Sementara Dirga tertawa renyah tanpa rasa bersalah.

"Bagus deh. Gue Cuma ngetes lo doang takut lo ada potensi baper kalau keseringan gue antar pulang," sahut Dirga ringan.

"Omong-omong lo kayak nggak ada takut-takutnya gitu ya?" tanya Dirga lagi. Tanpa mereka sadari perbincangan mereka mengalir secara natural sepanjang perjalanan.

"Maksudnya?" tanya Lona bingung.

"Delin sudah tahu nama lo, makanya Regan mulai jaga-jaga dengan pasang jarak sama lo di kantor. Tapi lo kayaknya biasa aja nggak ada galau-galaunya," heran Dirga. Lona benar-benar seperti tidak mendengar ancaman apapun hari ini. Menjalani harinya dengan biasa tanpa harus merasa gamang karena takut ketahuan. "Lo terlalu santai untuk sekelas pelakor."

"Mulut lo resek banget sumpah!" umpat Lona mulai kehilangan kesabaran. Kadang Lona tidak mengerti kapan di saat Dirga memuji atau memaki. Belum lagi wajahnya minim ekspresi yang semakin membuat perkataannya multitafsir.

"Lo juga nggak ada takut-takutnya sama gue," imbuh Dirga. "Padahal jelas-jelas gue bilang lagi nyelidikin lo secara terang-terangan. Bukannya seharusnya lo merasa terintimidasi setiap kita berhadapan?"

"Gue percaya sama lo nggak bakal nyalah gunain informasi yang lo dapet."

"Sepercaya itu lo sama gue?"

Alis Dirga bertaut. Regan bilang, salah satu sikap Lona adalah skeptis. Seharunya Lona merasa terancam padanya, bukan malah semudah itu mempercayai Dirga.

"Buktinya sampai sekarang lo nggak ngomong apapun ke Regan. Sesuai dengan permintaan gue."

Lona tahu persis, Dirga bukan cepu. Mulutnya bisa menjaga rahasia dan tipikap orang yang tidak bertindak secara gegabah. Ia merasa aman rahasianya dipegang Dirga─setidaknya untuk saat ini. Atau mungkin, selama Dirga tidak mengetahui rahasinya yang paling krusial. Lona yakin sedalam apapun Dirga menggali, ia tidak akan semudah itu menguak informasi detail identitas orang tua kandung Lona. Itu benar-benar tertutup rapat karena campur tangan kakek-nenek Lona dari sang ayah. Satu hal yang patut Lona syukuri sekaligus benci.

"Like i said, selama lo nggak nyakitin Regan. Gue pastiin nggak akan ikut campur apapun," tukas Dirga.

Lona diam. Bukannya ia tidak bisa menjawab. Tepatnya ia jelas tidak bisa menjanjikan akan hal itu. Lona tidak mau menjawabnya secara gamblang karena terlalu malas terlibat percakapan sengit di saat Dirga mulai berdamai dengannya.

Mobil yang mereka tumpangi melambat. Pertanda Dirga telah sampai di tempat kursus Leno yang ia maksud.

"Lo pindah ke belakang gih," suruh Dirga tidak berperasaan.

Padahal awalnya Lona sudah betul duduk di belakang kemudi. Tahu hanya sebentar begini harusnya Dirga membiarkannya tetap di tempat duduknya semula. Lona yang sempat berpikir Dirga itu sebetulnya baik jadi harus menimbangnya ulang sekarang. Berpikifan mungkin 'menjengkelkan' adalah nama tengah Dirga.

Karena memang hanya menumpang, jadi Lona memilih diam. Tanpa menyuarakan protes, ia langsung keluar mobil dan pindah ke belakang.

"Gue jemput Leno ke dalem dulu," pamit Dirga. Tentu saja ia tidak membutuhkan jawaban Lona karena sebelum kedua bilah bibirnya terbuka, presensi Dirga sudah menghilang dari pelupuk mata.

Tidak perlu waktu lama, Dirga muncul menggandeng seorang anak kecil menggemaskan di sisinya. Menenteng ransel imut di punggungnya, ia tampak melangkah dengan ceria. Sebelah tangannya yang mungil tampak kerepotan menenteng kanvas kecil. Beberapa kali Lona melihat Dirga menawarkan diri untuk membawakan kanvasnya, namun Leno memberikan gelengan sebagai balasan.

𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang