Chapter 62

38 8 1
                                    

Windelina menyisir rambutnya sebelum tidur. Mematut dirinya di depan cermin sembari mengamati bayangan Regan yang kini sudah memakai baju piyamanya.

Ia tampak menopangkan punggungnya di dasbor ranjang. Sibuk menatap ponselnya dengan raut datar. Entah apa yang sedang ia pikirkan, kedua maniknya jelas tidak fokus pada apa yang ada di depannya. Belakangan Regan lebih banyak diam, tidak lagi berusaha mengajaknya bicara lebih dulu seperti sebelumnya. Merasa kian asing bagi suaminya. Seolah suami-istri hanya gelar yang disandang tanpa memiliki arti.

Lelaki itu selalu pergi bekerja lebih awal, kemudian pulang menjelang petang.  Tidak lama setelah makan malam, mereka lantas beranjak tidur. Tidak ada obrolan berarti meski itu hanya candaan ringan seperti dulu. Regan mulai berubah.

"Kak Regan?"

"Hm?"

Regan tidak mengalihkan pandangannya dari ponsel saat istrinya mencoba mengajaknya bicara. Windelina tersenyum pahit. Susah payah kenyataan akan perselingkuhan suaminya ia telan sendiri, kini ia masih harus diabaikan olehnya.

"Kak, nggak terasa ya pernikahan kita udah jalan dua tahun," ujarnya memancing percakapan. "Kak Regan bahagia nggak?"

"Bahagia." Tentu saja Regan berbohong. Ia menjawabnya dengan setengah hati. Kalau boleh jujur ia ingin berteriak bahwa kini sangat menderita. Pelipur laranya hanya Lona dan gadis itu malah meninggalkannya.

"Kalau bahagia kenapa sampai sekarang Kak Regan belum juga cinta sama aku?"

Regan melirik Windelina yang masih menunggu jawabannya.  Menghembuskan napas kasar, Regan merasa muak tiap kali Windelina mulai menyinggung ini.

"Aku juga lagi berusaha untuk itu, Delin. Kamu sabar ya. Semua butuh proses."

Bohong, batin Windelina kesal.

Ia beralih pada meja riasnya. Kedua maniknya tertumbuk pada lipstick yang tampak asing baginya. Merasa aneh, Windelina yakin ia tidak pernah memakai warna seberani ini. Jelas ini bukan miliknya. Tiba-tiba teringat saat ia dan Lona berada di toilet restoran tempo hari, gadis itu memoleskan merk dan warna yang sama persis pada bibirnya.

Brakk!!!

"Kenapa?" tanya Regan kaget. Ia tidak terlalu fokus sampai rungunya mendengar suara benda berdentum menabrak lantai.

"Nggak, tiba-tiba aku nyenggol sesuatu terus jatuh," dalih Windelina.

Regan merasa aneh. Sekilas tadi ia sempat melihat tangan Windelina seperti terayun. Lebih mirip sengaja membanting sesuatu ketimbang faktor ketidaksengajaan. Entahlah, Regan tidak mau ambil pusing.

"Tadi apaan? Mau aku bantu ambilin?"

Windelina menggeleng keras. "Nggak usah, udah rusak. Biar besok dibersihin Bibi Darmi."

Regan diam. Tidak berniat memperpanjang percakapan mereka.

"Kak Regan, aku boleh minta sesuatu nggak?" pintanya tiba-tiba.

"Apapun selama aku sanggup pasti aku kasih," balasnya. Kini Regan menatap penuh pada Windelina. Menunggu istrinya mengungkapkan keinginannya.

"Kalau ulang tahun pernikahan kita dirayain, gimana?" cetusnya tiba-tiba. Jujur Regan merasa itu tidak penting dan suasana hatinya juga sedang tidak baik.

"Oke. Makan malam kayak tahun kemarin aja ya," sahut Regan. Tidak menyangka bahwa Windelina memiliki keinginan yang tidak sesederhana itu.

"Aku maunya pesta kayak kemarin."

Regan melotot.

"Ini baru ulang tahun kedua, Delin. Bukannnya itu terlalu berlebihan?" tanya Regan heran. "Apalagi baru kemarin kita bikin pesta ulang tahun kamu. Nggak enak aja kalau orang-orang ngira kita terlalu hedon. Atau mungkin lagi pamer."

𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang