"Lona, gue perlu ngomong sama lo."
Ucapan Dirga sontak menghentikan langkah Lona. Ia menoleh, menyipitkan matanya tidak suka akan kehadiran Dirga. Sementara lelaki itu menatapnya tenang. Lona pikir Dirga akan langsung meminta maaf atas ucapan kasarnya. Sayang dugaannya salah. Rupanya lelaki itu masih melanjutkan perdebatan mereka tadi siang.
"Sejak kapan lo deket sama Mas Bima?"
Lona mengernyit. Menatap Dirga tidak percaya. "Memangnya kejadian tadi siang itu udah jadi cukup bukti kalau aku deket sama dia?"
Dirga melihat Bima mencoba menolongnya, itu saja. Tidak seharusnya Dirga berasumsi sejauh itu. Lagi pula dekat yang bagaimana? Pertanyaan Dirga terdengar ambigu.
Dirga mencekal sebelah lengan Lona kemudian menariknya menjauh. Memastikan tidak ada yang sedang memerhatikan apalagi mendengar mereka. Kemudian dia menyodorkan ponselnya. Menunjukkan pada Lona fotonya tengah makan malam bersama Bima kemarin lusa.
"Bisa jelasin ini apa?" sentaknya dingin.
Lona membeku. Melipat bibir ke dalam dengan wajah gelisah. Ia bahkan tidak berani balas menatap Dirga yang jelas sedang mengintimidasinya.
"Masih mau nyangkal gimana lagi?" kejar Dirga. Rahangnya kian mengetat. "Udah gue bilang jangan deket-deket Mas Bima."
"Lo ngikutin gue?" Lona berusaha balik menyerang Dirga. Namun suaranya yang gemetar tidak bisa menutupi kegugupannya.
"Kriminal lo!" makinya kehabisan akal.
"Pertama, gue nggak sudi bayar orang cuma buat ngikutin lo," tegas Dirga. Mencondongkan wajahnya mendekat ke Lona agar perempuan itu menyimaknya baik-baik. "Kedua, Mas Bima itu bukan orang sembarangan. Banyak yang kenal sama dia dan hal semacam ini bakal cepat kesebar. Tanpa harus gue suruh orang buat buntutin lo," cerca Dirga. Sengaja mengulang dan menekankankan kalimat terakhirnya.
Dirga memang berkata jujur. Ia tahu foto ini karena relasinya yang luas. Lebih-lebih Bima dikenal sebagai lelaki flamboyan. Hal seperti ini akan mudah menyebar bak dandelion tertiup angin. Entah itu untuk menjatuhkannya, atau sekadar bahan gunjingan diantara kalangan mereka.
"Nanta tahu?" tanya Lona cemas. Tanpa sadar menggigit ujung bibirnya gelisah.
Dirga menghela napas kasar. Lantas melempar tatapan kesalnya. "Kalau dia tahu, udah ngajak gue mabok dari kemarin kali."
Lona menyandarkan tubuhnya ke dinding. Kedua lututnya melemas sejak Dirga memberitahu hal ini. Agaknya sekarang ia bisa lebih lega mendengar Regan tidak mengetahui kelakuannya di belakang. Benar Lona hanya makan malam. Tapi tetap saja siapa pun yang melihatnya akan salah paham. Rawan memunculkan spekulasi bermacam-macam.
"Jadi apa alasan lo sampai bisa makan malam sama dia?" tanya Dirga menuntut penjelasan. "Sejak kapan lo deket?"
"Gue nggak deket ya Dirga," tolak Lona keras. Tidak mungkin mengatakan alasan sebenarnya kenapa dia sampai bertemu dengan Bima. Berbohong pada Dirga juga seperti bunuh diri. Sebab lelaki itu tahu banyak hal tentang dirinya. Buktinya sekarang ia ketahuan semudah itu.
"Habis kita meeting waktu itu, pas lo tinggal gue di mobil sendirian, Mas Bima nyamperin," jelasnya. "Dia minta nomor gue buat ngajak makan malam. Gue kira mau ngomongin masalah proyek."
Lona mencoba beralibi semasuk akal mungkin. Tentu saja dengan sensor di sana-sini.
"Ngajak makan malam berdua dan lo nggak curiga?" selidik Dirga skeptis. Tentu bukan Dirga namanya jika semudah itu percaya. "Gue nggak percaya lo semudah itu ngiyain."
Lona menelan ludahnya kasar. Mendadak tenggorokannya terasa kering disudutkan Dirga tanpa henti. Otaknya berputar keras memikirkan alasan lain.
"Dia klien kita, Dir. Gue nolak juga segan," cicit Lona memelas. "Lo tahu gue nggak ada pengalaman ngadepin klien. Gue kira kayak gini tuh biasa. Ntar kalau gue salah nanggepinnya, lo ngehujat gue lagi!"
Untungnya alasan Lona yang terakhir cukup bisa diterima Dirga. Terbukti lelaki itu mengangguk beberapa kali memahami. Dirga berhenti mencercanya. Membuat keheningan yang canggung menyelimuti mereka untuk beberapa saat.
"Lona, maaf untuk yang tadi siang," ujar Dirga akhirnya. "Gue nggak maksud bikin lo sakit hati dengan omongan gue yang kasar. Gue tahu lo nggak yang kayak gue omongin. Sorry."
Lona menatap Dirga. Kedua maniknya menyorotkan penyesalan. Giliran Lona yang mengangguk pelan. Jujur Lona sudah sedikit melupakan kekesalannya pada Dirga. Ia juga tidak mau memperpanjang masalah. Mungkin Dirga hanya kelepasan bicara.
"Nggak apa-apa," balas Lona santai. "Gue udah lupain."
Lona tahu, sejutek apapun Dirga, ia tidak akan semudah itu lepas kontrol bicara. Lona tahu ia salah tidak mendengarkan omongan Dirga sejak awal. Tapi seharusnya, satu kesalahan itu tidak akan membuat Dirga sekesal ini pada dirinya.
"Lo pasti punya alasan lain 'kan sampai semarah ini sama gue?" tanya Lona curiga. Dirga tampak terkejut, namun sedetik kemudian ia menyeringai.
"Gue nggak tahu lo secermat ini. Emang gue kebaca?" Dirga balik bertanya. Terkekeh pelan yang semakin membuatnya misterius.
"Lo nggak mungkin ngelarang gue deket sama Mas Bima cuma karena takut gue diapa-apain dia 'kan?" tanyanya balik setengah menyindir.
"Kenapa lo bisa mikir gitu?"
"Nggak mungkin karena lo khawatirin gue," sungut Lona yang tiba-tiba malah mengundang tawa Dirga.
Sadar semakin lama mengenal Dirga, orang ini aneh juga.
"Mas Bima itu nggak suka sama Regan," cetus Dirga mengawali penjelasannya. "Istri Mas Bima itu juga punya biro arsitek. Sering kalah tender sama Group Hanstanta, sampai di sini ngerti nggak?"
"Bukannya Mas Bima nggak cinta sama istrinya? Buktinya dia selingkuh mulu. Harusnya dia nggak peduli dong," sahut Lona belum sepenuhnya paham. Mendadak Dirga gemas mendengar penuturan Lona. Ia pikir Lona bisa langsung menangkap apa yang dia katakan.
"Nggak cinta sih, tapi itu bikin harga diri Mas Bima ikut terinjak. Dia jadi nganggep kalau Regan itu juga saingannya," tutur Dirga. "Sekarang lo bayangin, Om Hartono bikin rumah bukannya minta tolong menantunya malah pakai jasa orang lain. Lo jadi Mas Bima kesel nggak? Malu nggak?"
Lona mangut-mangut. Ia bisa menarik kesimpulan sekarang. "Pantesan dari awal Mas Bima sengaja mempersulit terus."
"Gue juga sengaja ambil alih tanggung jawab proyek ini, bukan Regan langsung." timpal Dirga. "Paham lo sekarang?"
"Baik banget lo jadi sepupu," komentar Lona. Secara tidak langsung Dirga sedang melindungi Regan.
Merasa perselisihan di antara mereka telah selesai, Lona pun mengajak Dirga untuk bergabung makan malam bersama yang lain. Takut Regan mencarinya karena menghilang terlalu lama.
"Lona," panggil Dirga lagi. Sengaja menahan Lona untuk lebih lama di sini.
"Kalau lo bilang gue begini karena cuma khawatirin Regan, lo salah besar."
"Gue juga mikirin lo," imbuhnya setengah berbisik.
Kemudian berjalan lebih dulu melewati Lona. Tidak memberi kesempatan Lona untuk membalas kalimatnya lagi.
Ya, Dirga khawatir pada Lona.
Takut jika perempuan itu hanya dimanfaatkan Bima untuk menghancurkan karir Regan. Meski Lona tidak bisa dipandang sebelah mata, tapi Lona masih muda. Labil dan mudah terpancing. Emosi kadang mengaburkan logikanya dan Dirga tidak mau perempuan itu salah jalan.
Segini dulu ya, lagi capek 😑
KAMU SEDANG MEMBACA
𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯
Romance[ 𝐉𝐉𝐇 𝐀𝐔 ] Tentang Velona Kahesa yang menghalalkan segala cara demi membalaskan dendamnya. Tentang Regananta Jeffrian yang mendua demi meluapkan ketidakpuasan atas keadaannya Tentang Windelina Adelia yang nekat memanipulasi demi mendapatkan cin...