Chapter 41

30 7 0
                                    

Lona tersenyum licik menatap undangan yang Windelina berikan padanya. Bagai memenangkan sebuah lotre, ia tidak menyangka rencananya melebihi ekspektasi. Bersyukur Windelina terlalu naif hingga semudah itu mengundang seseorang tanpa memastikan latar belakangnya. Ada untungnya juga Lona bertemu dengan Bima kemarin. Ia kira lelaki peselingkuh itu tidak akan berguna baginya.

Windelina dan Lona bahkan belum saling bertukar nama. Lona pikir itu akan menjadi kejutan tambahan di sana. Membayangkannya saja sudah menyenangkan. Lona tidak sabar menunggu hari itu tiba.

"Lo ngapain senyum-senyum sendiri? Sinting lo?"

Untung saja tangan Lona cekatan menyembunyikan undangan itu dibalik tumpukan. Selanjutnya, ia memegangi dada yang masih berdegup kencang saking terkejutnya dengan kemunculan Dirga yang tiba-tiba.

Ya, siapa lagi yang akan mengumpat seringan itu padanya selain Dirgantara Dhia Hanstanta.

"Jutek amat sih lo jadi cowok! Pantesan awet ngeduda," sengit Lona pedas. Menyorot tajam Dirga yang masih berdiri di hadapannya.

Dirga menyeringai. Terlintas ide untuk mengerjai Lona balik. "Iya nih, kayaknya yang tahan sama mulut gue cuma lo. Sama lo aja gimana mau nggak?"

Lona melotot. Belakang lehernya sampai meremang hebat mendengar celotehan Dirga yang terdengar ngawur. "Gila ya lo?! Gue aduin Nanta biar dipecat jadi sepupunya!"

Dirga terbahak, sementara Lona membuang muka tidak ingin menanggapinya lagi atau dia akan semakin dongkol. Sedikit menyesal semakin akrab dengan Dirga yang sepertinya memiliki kepribadian ganda. Kadang dingin,kadang judes, kadang bersikap dewasa menenangkan layaknya seorang kakak, namun tiba-tiba bisa berubah menjadi genit─seperti sekarang.

Mengembalikan fokusnya, Dirga mengatakan sesuatu setelah tawanya cukup reda.

"Udah lo siapin semua yang dibawa buat besok?"

Besok pembangunan rumah Om Hartono akan segera dimulai. Rencananya beberapa hari ke depan, Lona bersama Regan dan Dirga akan berada di Yogyakarta untuk mengawasinya secara langsung di lapangan. Sekaligus memenuhi undangan Om Hartono secara pribadi untuk menyaksikan peletakan batu pertama.

Lona mengangguk. "Udah beres."

"Lo di sana jangan pacaran mulu sama Regan."

"Terus maunya gue pacaran sama lo gitu?" sewot Lona mulai habis kesabaran.

"Maksud gue, lo di sana kerja. Bukan aneh-aneh!"

Dirga memperingatkan. Berhubung akan banyak pasang mata yang bisa mengawasi mereka, Dirga tidak mau jika Regan dan Lona bertindak gegabah. Apalagi mereka pergi ke luar kota bersama untuk beberapa malam.

"Lo ngomong gitu harusnya ke Nanta. Salah kalau lo cuma ngomong ke gue," desis Lona tidak terima. Sebenarnya Dirga pun berpikiran yang sama. Regan yang paling rawan untuk lepas kendali.

"Lo aja yang bilang. Regan lebih dengerin lo dari pada gue," kelit Dirga. Mulai menurunkan intonasi bicaranya. Entah kenapa setiap bersinggungan dengan Lona, Dirga sering kali ngegas sekali pun tidak sedang berdebat.

Tidak mau memperpanjang adu mulut, Lona lantas menyingkir. Terlalu lama berada di sekitar Dirga agaknya bisa membuat tekanan darah Lona tinggi di usia muda. Ia pikir mulutnya sudah cukup pedas, ternyata masih ada Dirga yang berada di atasnya.

"Ke mana lo?"

"Mau ke ruangannya Nanta bentar."

"Ngapain?"

"Cipokan, kenapa lo mau lihat?"

Dirga tersedak ludahnya sendiri hingga terbatuk dengan wajahnya yang memerah. Tidak menyangka lidah Lona akan selemas itu menjawabnya meski ia tahu itu hanya candaan. Meski mereka menjadi yang terakhir berada di kantor, tidak sepantasnya Lona sevulgar itu dalam bertutur kata.

𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang