Chapter 9

76 11 3
                                    

Lona meletakkan seikat bunga lili di atas makam mamanya. Sesuai dengan namanya, Liliana sangat menyukai bunga lili. Lona masih ingat bagaimana bunga itu tidak pernah absen menghiasi meja ruang tamu rumah mereka dulu. Lona tersenyum getir mengenangnya. Kini semua hanya sebatas memori, tidak mungkin terulang lagi.

"Ma, Lona datang," lirihnya.

Lona kadang bertanya-tanya, jika papa mereka tidak pergi begitu saja meninggalkan Liliana, Lona dan Kale yang kala itu masih balita, apakah kehidupan yang ia jalani akan berbeda? Apakah penderitaan akan jauh dari hidupnya, dan digantikan dengan kebahagiaan lewat keluarga yang masih utuh?

Atau mungkin semua akan tetap berakhir sama karena pada dasarnya papanya memang kepala keluarga tidak bertanggung jawab. Lambat laun hanya tinggal menunggu waktu, pasti papanya juga tetap akan pergi karena wanita lain.

Lona membiarkan kelopak matanya terpejam untuk beberapa saat. Kilatan bayangan masa kecilnya bagai kaset rusak yang terus berputar memenuhi isi kepala. Seolah tidak sudi membiarkan Lona tenang, akumulasi memori buruk itu terus menggerogotinya sampai sekarang. Kale menyadari kedua tangan Lona yang menggantung di kedua sisi tubuhnya mulai terkepal kuat.

"Kak?" tegur Kale dengan sengaja memegang kedua lengan Lona. Kemudian sebelah tangannya turun menggenggam tangan Lona secara bergantian. Sengaja agar jemari Lona yang mengerat kembali mengendur. Agaknya cara itu berhasil membuat Lona kini lebih rileks.

"Kak Ilo," ulangnya sekali yang berhasil membawa jiwa Lona kembali.

"Mama nggak akan suka kalau Kak Ilo terus menyiksa diri dengan mengingat masa lalu terus," ucap Kale lirih, nyaris berbisik. Lona mengangguk kecil diiringi senyum getir yang melengkung di bibirnya. Sebuah senyum palsu yang kentara Lona paksakan kehadirannya.

Setidaknya ada yang harus Lona syukuri, yaitu Kale masih terlalu kecil untuk mencerna apa yang terjadi pada keluarga mereka di masa lalu. Sehingga ingatan buruk itu tidak perlu tandan berdedak membusuk di kepalanya. Seperti apa yang terjadi pada Lona hingga ia terus merasa sakit. Rasa sakit yang akan terus menggeliat liar jika Lona tidak segera membalaskan semuanya.

"Ma, Lona akan bayar segala rasa sakit Mama."

Tentu Lona hanya berucap sebatas dalam hati sebab Kale tidak perlu tahu tentang segala rencananya. Lona ingin Kale menjalani hidupnya dengan benar dan bersih. Tanpa harus ikut andil dalam skenario jahat yang tengah Lona susun demi membuat tenang Liliana di surga.

--

"Kak Ilo jadi pulang kapan?" tanya Kale. Menyingkirkan kesunyian yang terjadi semenjak mereka pulang dari makam Liliana. Selalu seperti ini, Lona akan terus diam sepanjang perjalanan pulang setelah bertandang dari peristirahatan Liliana.

"Aku udah pesan travel untuk Senin pagi," beritahu Lona. Kedua matanya masih sibuk memandang ke luar jendela mobil. Lona masih setengah melamun. Terdengar tidak berminat terlibat percakapan lebih panjang dengan Kale.

Biasanya, durasi paling lama Lona berada di Bandung hanya cukup untuk menginap satu malam. Ia selalu buru-buru kembali ke Jakarta meski keesokan harinyanya masih Minggu. Lona berdalih bahwa kegiatannya menjadi mahasiswa arsitektur tidak mengizinkannya untuk bersantai. Terutama beberapa bulan belakangan, bahkan saat liburan semester pun Lona sama sekali tidak pulang.

Kale merasa sedikit heran karena kali ini Lona terlihat ingin berlama-lama di Bandung. Tadi pagi saja Lona bangun kesiangan. Padahal biasanya Lona yang paling cerewet menyuruh Kale bangun pagi buta dan berkunjung ke makam Liliana lebih awal agar Lona bisa segera kembali ke Jakarta.

"Kak, ada masalah ya?"

"Kenapa emang?"

"Nggak biasanya Kak Ilo nyantai kayak gini," komentar Kale jujur. "Biasanya Kak Ilo cuma sebentar di Bandung terus buru-buru balik."

"Soalnya Kak Ilo masih kangen sama kamu," sahut Lona. Tentu saja Kale tidak semudah itu percaya.

"Kakak lagi marahan ya sama pacarnya?"

Sontak Lona yang sebelumnya menyandarkan tubuh dengan malas duduk tegak. Membuat Kale tertawa memang karena mengira tebakannya benar. "Jadi Kak Ilo di Jakarta punya pacar? Pantesan selama ini jarang pulang."

"Nggak punya!" tampiknya cepat. "Memangnya kenapa kok kamu bisa nebak kayak gitu?"

"Dari kemarin Kak Ilo ngecek ponsel terus."

"Nggak ada hubungannya orang punya pacar sama ngecek ponsel terus," elak Lona masih bersikeras.

"Punya pacar juga nggak apa-apa kali, Kak Ilo," kelakar Kale. Kedua matanya sampai membentuk bulan sabit karena terus tersenyum geli melihat Lona salah tingkah. Kale teringat perbincangan mereka kemarin yang berakhir Lona terus mendiamkannya selama perjalanan menuju kontrakan Kale. Di mana Lona bersikeras untuk tidak menikah, Kale pikir Lona memang tidak pernah mau membuka hatinya. Jadi saat pancingannya barusan sedikit berhasil, Kale justru merasa lega.

"Kale malah seneng kalau Kak Ilo beneran punya pacar."

"Pasti brondong ya?" goda Kale sekali lagi. Teringat bahwa usia Lona termasuk tua jika dibandingkan teman-teman seangkatannya. Kale juga berpikir itu adalah teman kuliah Lona mengingat Lona belakangan betah sekali di Jakarta.

"Nggak mungkinlah!" tolak Lona masih memasang wajah sinis.

"Oh, jadi lebih tua. Syukurlah, semoga bisa membimbing Kak Ilo di jalan yang benar."

"Memangnya selama ini Kak Ilo salah jalan?" sewotnya.

Kale menampilkan cengirannya. "Kapan mau dibawa ke Bandung?"

"Ngapain?"

"Dikenalin ke aku."

Lona memutar kedua bola matanya malas. "Nggak layak dikenalin."

"Nggak layak kok dipacarin?" kejar Kale terus.

Lona jadi semakin sebal sekarang. Terutama jika teringat dengan kelakuan Regan yang terakhir. Andai lelaki itu tidak ingkar janji, pasti sekarang Lona tidak perlu kelimpungan karena ponselnya sepi notifikasi dari Regan. Lagi pula Lona hanya memblokir kontaknya, bukan sosial media lainnya. Harusnya Regan berusaha lebih untuk menghubunginya lewat jalur lain seperti yang biasa ia lakukan. Bukan malah ikut mendiamkan Lona seperti sekarang.

Lona benar-benar tidak habis pikir kenapa susah sekali mengusir Regan dari pikirannya.

Tidak, ini juga bukan karena cemburu. Lona terus terbayang bagaimana manisnya Regan memperlakukan istrinya karena merasa geli alih-alih iri.

Lona juga tidak rindu. Hanya tingkah manja Regan yang berbanding terbalik dengan wajah dewasanya terus hinggap di kepala Lona. Jelas itu di luar kendalinya, jika bisa memilih maka Lona tidak menginginkannya. Salah sendiri karena Regan begitu menggemaskan!

"Kak Ilo kenapa?" tanya Kale heran menangkap basah Lona tengah menghela napas terlihat sangat putus asa.

"Nggak apa-apa, Le. Sudah kamu fokus aja nyetir katanya mau ajak jalan-jalan," bentak Lona kesal.

"Udah Kak hubungin aja dulu pacarnya. Minta maaf aja duluan kalau udah nggak sanggup nahan kangen," celetuk Kale iseng.

Lona yang sudah bosan dan malas terpancing lagi dengan topik yang sama memilih diam dari pada bayangan Regan di kepalanya semakin berkepanjangan. Ia memilih mengecek ponselnya untuk kepentingan lain. Yaitu mengirim pesan ke salah satu temannya untuk memastikan bahwa Senin nanti jadwal kuliah mereka dimulai dari kelas siang. Selain karena masih ingin bersama adiknya, Lona masih enggan untuk berhadapan dengan Regan jika ia harus buru-buru kembali ke Jakarta.

 Selain karena masih ingin bersama adiknya, Lona masih enggan untuk berhadapan dengan Regan jika ia harus buru-buru kembali ke Jakarta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang