"Maaf Pak Nanta, saya terlambat."
Regan refleks mendongak. Sedikit terkejut seseorang memanggil namanya demikian. Ia menatap salah satu mahasiswanya yang masih berdiri menunggu diberi izin untuk duduk.
Pagi ini hari pertama Regan untuk mengajar dan sudah ada beberapa yang terlambat masuk kelasnya. Regan memang sengaja mengambil jadwal di jam pertama. Sengaja untuk memudahkannya yang bekerja di dua tempat. Selesai dari sini Regan harus pergi ke kantornya.
"Kamu Velona Kahesa?"
"Iya, Pak," jawabnya.
Gadis di hadapannya ini bisa dipastikan yang terakhir masuk setelah Regan memeriksa namanya di lembar absen. Hanya kolom tanda tangannya yang masih kosong.
Gadis itu jelas sangat tergesa untuk menuju ke sini. Kunciran rambutnya tidak rapi, Regan bahkan curiga ia tidak menyisir rambutnya lebih dulu. Lalu tas ransel beserta tabung gambarnya ia sampirkan asal di sebelah bahu. Wajahnya tampak kuyu ditambah kedua mata bengkaknya dihiasi lingkaran hitam di bawahnya.
"Velona, kamu telat gara-gara bangun kesiangan?" tebaknya tepat sasaran.
Terdengar beberapa tertawa cekikikan namun segera reda saat tatapan Regan menghujam mereka. Seisi kelas mendadak lebih sunyi dari sebelumnya.
Lona menarik napas panjang sebelum balik menatap lurus Regan. Lelaki itu kini bisa melihat jelas wajah perempuan di hadapannya. Teringat rupanya itu adalah gadis yang berpapasan dengannya setelah seminar dulu. Pantas ia merasa familiar.
"Kenapa diem?" tanya Regan lagi sembari mengangkat kedua alisnya.
"Nggak, Pak." Lona masih memasang wajah datarnya. Sama sekali tidak merasa terintimadasi.
"Nggak gimana?"
"Nggak salah."
Mendengar tanggapan Lona, deretan mahasiswa di bangku belakang kembali kesulitan menahan tawanya lagi. Regan terperangah. Tidak menyangka dia seberani ini untuk menjawab demikian.
"Coba kasih saya alasan untuk ngasih izin kamu duduk," tantangnya. "Kenapa kamu pengen jadi arsitek? Kalau saya bisa terima alasan kamu, baru kamu boleh duduk."
Bukan. Ini bukan gaya Regan untuk mempersulit orang. Bahkan mahasiswa terlambat tepat sebelum Lona datang ia persilakan duduk dengan cuma-cuma.
Mungkin ego Regan yang tidak mengizinkan. Ini hari pertamanya mengajar, ia harus memberi kesan tegas agar mereka yang berada di sini memiliki rasa segan sekaligus respect terhadapnya.
Di sisi lain, ada dorongan untuk membuat perempuan itu berdiri lebih lama di hadapannya. Tanpa peduli bahwa semua mata kini terfokus pada mereka. Paras perempuan itu membuat Regan tertarik menatapnya lebih lamat.
Sementara Lona benar-benar buntu. Ditambah faktor berhadapan langsung dengan Regan ikut berkontribusi atas lenyapnya pikiran jernihnya.
Jujur ia masih kesulitan mengumpulkan nyawanya gara-gara baru pulang subuh tadi. Rasa kantuk yang mendera sungguh menyiksa. Bisa membuka kedua kelopak matanya meski hanya setengah begini sudah sangat bersyukur. Kini Lona malah disuruh berpikir.
"Jawab, Velona."
"Karena saya pintar gambar, Pak," ceplosnya asal.
Bagus. Sungguh jawaban yang sangat tidak berbobot, Lona!
Lona yang tersadar betapa terlihat bodohnya dia sekarang ingin sekali membenturkan kepalanya ke dinding.
"Arsitek bukan soal gambar. Kalau cuma jago gambar aja mending kamu jadi sketch artist," sindir Regan ringan. "Ada kok arsitek kelas dunia yang nggak jago gambar manual."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯
Romance[ 𝐉𝐉𝐇 𝐀𝐔 ] Tentang Velona Kahesa yang menghalalkan segala cara demi membalaskan dendamnya. Tentang Regananta Jeffrian yang mendua demi meluapkan ketidakpuasan atas keadaannya Tentang Windelina Adelia yang nekat memanipulasi demi mendapatkan cin...