Chapter 29

43 9 2
                                    

"Kok gitu doang sih? Nggak seru," komentar Dirga kecewa.

Regan baru saja menceritakan kejadian tadi pagi. Tentang Windelina yang sama sekali tidak menyuarakan protes atau curiga karena Regan semalaman hilang tanpa kabar. Malah sebaliknya, mereka merencanakan sebuah pesta untuk ulang tahun Windelina.

"Disuap pakai pesta doang gampang banget ngelupainnya," cibir Dirga.

"Lo kok malah nggak seneng gitu sih? Harusnya lo bersyukur Windelina nggak permasalahin kemarin," protes Dirga.

"Kenapa gue harus ikut bersyukur? Kalau kena masalah yang repot juga lo!"

"Kalau gue kena masalah gue bakal nyeret lo juga Dir!"

"Lhah kenapa?"

Alis Dirga bertaut.

"Kan lo secara nggak langsung selalu ikut ngebantuin gue nutupin hubungan gue sama Lona," balas Regan kalem. Merasa terjebak, Dirga terpancing emosinya.

"Bajingan lo emang! Nyesel gue bantuin lo sekarang!"

Regan tertawa keras saat Dirga memakinya kesal karena merasa kalah.

Tidak ingin terlalu mengambil resiko lagi, Regan teringat ia ingin meminta bantuan Dirga. Mengenai Lona, sepertinya Regan harus terlihat sedikit menjaga jarak dengannya di kantor mulai sekarang. Memang benar saat ini Windelina tidak mencurigainya, namun Regan tidak ingin mengambil resiko jika ia terus mengulangnya.

"Dir, bisa tolongin gue nggak?"

"Apaan lagi sih?"

Wajah Dirga tentu jauh dari kata ramah.

"Gue nggak bisa kayaknya antar-jemput Lona terus setiap hari. Takut lama-lama orang-orang curiga nggak sih?" Regan terlihat berpikir keras. Ujung kalimatnya terdengar menggantung. Meminta pendapat dari Dirga.

Dirga merotasikan kedua matanya jengah. Ia pun sudah memperingatkan ini sejak awal. "Baru nyadar lo?"

"Makanya kita gantian aja ya? Lo gantian sama gue anterin Lona pulang."

Dirga melotot. "Penting banget gue nganterin selingkuhan lo?!"

Regan buru-buru membekap mulut santun Dirga yang kelepasan bicara. Ia melotot tajam, sementara Dirga sudah meraung-raung minta dilepaskan karena Regan membekapnya bukan hanya di mulut, melainkan seluruh wajahnya. Dirga lebih percaya Regan sedang melakukan percobaan pembunuhan dari pada membungkam mulutnya.

"Jaga mulut lo!" hardik Regan usai bekapannya melonggar.

Dirga tentunya tidak terima. Dengan pasokan oksigennya yang menipis dia balik berteriak. "Kelakuan lo tu yang dijaga!"

"Gimana mau nggak?" kejar Regan bersikeras. Masih menunggu Dirga mengiakan permintaannya. Kalau pun sampai Dirga menolak, Regan tidak segan mendesaknya sampai berkata iya.

"Emangnya gue punya pilihan buat nolak?"

"Kalau lo nggak mau tetep gue paksa sampai mau!" sahut Regan penuh ancaman.

"Ogah!"

Bukan Dirga yang menjawab, tapi itu Lona. Terlalu sibuk berdebat membuat Regan dan Dirga tidak sadar Lona sudah berada di antara mereka. Meletakkan gulungan beserta setumpuk kertas di atas meja Dirga. Wajahnya masam. Menatap nyalang Regan dan Dirga secara bergantian.

"Gila ya kalian ngomongin kayak gini nggak difilter. Untung aku yang masuk bukan orang lain," tegurnya keras.

Lona bahkan sedikit membanting tumpukan kertas saat meletakkannya di atas meja Dirga tadi. Ia sudah mencoba mengetuk pintu ruangan, namun dua manusia ini tidak ada yang mengindahkan. Sampai ia memutuskan membuka pintu lebih dulu. Membuatnya sedikit banyak mendengar pembicaraan Regan dan Dirga.

𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang