Chapter 6

103 16 5
                                    

"Nan, Mama denger dari Tante Anna kamu habis dari restorannya tadi siang."

Selain Lona, yang masih selalu memanggil Regan dengan nama kecilnya adalah Natalie dan Kalina―mama dan adik perempuannya.

"Iya, Ma."

"Oh. Kamu kok lama nggak telepon Mama? Windelin ngerepotin kamu terus ya?"

"Nggak, Ma. Repot sama Lona."

Tentu saja Regan hanya menyimpan pernyataan itu di dalam kepala.

Regan menghela napas berat, mamanya mulai lagi. "Nggak Ma, justru ini tadi Regan yang maksa buat nganterin Delin, biasanya dia nggak mau diantar karena takut nyusahin."

Padahal lebih merepotkan jika Windelin hanya datang ditemani Bibi Darmi. Entahlah, kenapa Windelin selalu bersikeras untuk periksa ke rumah sakit sendiri. Pagi ini pun Regan harus merayunya lebih dulu agar istrinya mengizinkannya ikut. Berengsek begini Regan masih memiliki hati nurani.

"Terus kata dokternya gimana?" tanya Natalie buru-buru.

"Masih sama, Ma," balas Regan lirih. "Rehabilitasi medis yang dilakukan selama ini cuma untuk mencegah cedera lanjutan sama menjaga struktur tulang belakangnya tetap stabil."

Regan melanjutkan penjelasannya sesuai apa yang dokter katakan padanya tadi pagi. Ada kegetiran terselip di setiap silabel yang Regan lisankan. Harapan Windenlin untuk kembali seperti dulu nyaris tidak ada.

"Dioperasi lagi juga nggak bisa balik jalan lagi?" kejar Natalie terdengar tidak puas mendengar penuturan Regan.

"Gara-gara kecelakaan dulu, saraf di sumsum tulang belakangnya yang kena, Ma. Kata dokter itu sulit meski ada kemungkinan sembuh pun mustahil."

"Maksudnya lumpuh permanen?"

"Iya, Ma." Regan menjawab pasrah.

"Dia nyoba berobat ke luar negeri masih tetap nggak mau juga?"

"Aku sudah coba bujuk Delin, tapi dia nggak mau," ungkap Regan jujur.

"Kamu 'kan suaminya, harusnya dia nurut dong sama kamu."

"Ma, kondisi psikis Delin juga harus aku perhatiin. Nggak bisa asal maksa."

"Jadi istri kamu akan cacat seumur hidup, begitu?" potong Natalie tidak sabaran. "Terus nasib kamu gimana, Nan?"

Natalie jelas kecewa berat. Terdengar khawatir sekaligus marah tapi entah harus kepada siapa. Seharusnya sejak awal ia jelas tahu konsekuensi Regan menikahi Windelin dalam keadaan seperti itu. Bodohnya, kemungkinan seperti ini tidak Natalie perhitungkan. Ia pikir kecanggihan teknologi khususnya di bidang kedokteran bisa mengatasi semua penyakit termasuk apa yang diderita Windelin. Natalie pikir, Regan tidak perlu menunggu lama untuk kesembuhan Windelin.

"Kalau kayak begini terus, apa mungkin kalian bisa punya anak dan menjalani pernikahan normal seperti lainnya?"

Natalie sedikit meninggikan nada bicaranya. "Apa sampai sekarang kamu juga belum menyentuh Windelin karena nggak tega dengan kondisinya?"

"Ma!" Regan mulai terpancing emosi. Natalie agaknya melewati batas. Bukannya menguatkan hati Regan, justru yang ia dapatkan hanyalah tekananan dari mamanya.

Ia mengatur deru napasnya berusaha mengontrol diri. Belakangan Natalie memang kerap bersikap berlebihan. Natalie memang masih memperlakukan Windelin dengan baik sebagai menantunya. Itu pun semata-mata karena segan dengan Abraham yang merupakan sahabat karib suaminya. Namun di hadapan Regan, Natalie selalu mencurahkan keluh kesahnya dan betapa ia sangat tidak puas melihat nasib putra sulungnya.

𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang