Chapter 34

40 7 8
                                    

"Aku cuma pengen yang terbaik buat Papa," kilah Bima. Hartono kemudian mendudukkan dirinya di samping Bima.

Sedikit salah tingkah karena kehadirannya yang tiba-tiba. Dirga hendak berdiri untuk memberikan salam namun Om Hartono mengangkat sebelah tangannya. Memberi tanda Dirga agar tetap tenang duduk di tempatnya.

"Udah, santai saja sama saya," ucapnya ringan. "Saya cuma mau ngecek Bima ini ngapain aja sih ngurus begini aja nggak kelar-kelar."

"Bukan aku, Pa. Tapi mereka yang kerjanya nggak bener," tuduh Bima seenaknya. "Kita bakal ngeluarin dana nggak sedikit buat ini. Wajar dong kalau aku nuntut sempurna."

Om Hartono mulai melihat satu per satu desain yang telah digelar Lona sebelumnya di atas meja. Juga 3D modelling yang ia minta tunjukkan melalui bantuan Lona.

"Ini Pak, eh Om Hartono."

Lona jadi ikut gugup karena kedatangan Om Hartono yang di luar prediksi mereka.

Om Hartono adalah pemilik salah satu stasiun televisi swasta yang memiliki banyak acara dengan rating tinggi. Tidak heran jika ia dinobatkan menjadi salah satu orang terkaya di negeri ini. Ia juga cukup disegani karena kedudukan dan status sosialnya.

"Jadi ini yang kata kamu buruk?" Om Hartono melemparkan pertanyaan itu pada Bima.

"Ini kampungan, Pa. Bima dari awal maunya bangunan yang modern, tapi mereka ngotot bikin kayak gini."

"Kami nggak memaksakan, Mas Bima. Kita hanya mengarahkan yang terbaik sesuai dengan tugas kami sebagai konsultan," timpal Dirga.

Lona salut memikirkan betapa banyaknya stok sabar yang Dirga simpan untuk Bima. Padahal setiap Bima bicara, Lona ingin sekali membalikkan meja di depannya.

Om Hartono sendiri sebetulnya tidak terlalu mempermasalahkan. Walau kaya raya, dia bukan tipe yang banyak mau, cerewet dan meributkan banyak detail.

Sebelum pertemuan hari ini, dia sudah melihat desainnya dan mengatakan kepuasaannya terhadap kinerja perusahaan Regan. Secara terencana, memang minggu lalu dia bertemu Batara dan Regan di tempat golf. Regan yang meminta papanya untuk membantu mempertemukannya langsung dengan Om Hartono. Regan jelas tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Setelah cukup berbasa-basi, ia menunjukkan dan menjelaskan secara singkat desain yang sudah timnya buat dengan campur tangan Lona. Kemudian mengusulkan Om Hartono ikut di meeting kali ini agar terlibat langsung. Bersyukur beliau setuju tanpa paksaan.

"Dari tadi kok kamu terus yang bicara, Dir. Coba dong gantian asisten kamu yang jawab!" cerca Bima. Merasa Lona adalah sasaran empuk untuk mempermalukan kerjaan mereka langsung di depan papanya selaku pemilik utama.

"Saya?"

Lona bertanya untuk memastikan. Bukan merasa gentar.

"Iya kamu. Katanya ini konsepnya dari kamu," kejarnya. "Kata kamu saya nggak paham sama omongan Dirga. Coba kamu yang jelasin langsung biar saya paham."

"Baik," jawab Lona lugas. "Bagian mana yang nggak paham, Mas Bima?"

Bima menggerakkan telunjuknya di atas kertas. "Ini kenapa pohonnya nggak ditebangin? Bukannya malah nambah serem?"

"Justru itu yang menambah nilai unik hunian Om Hartono nantinya. Bentuk lahannya sudah organik ditambah struktur bangunannya dibuat otentik. Ini akan menjadi nilai tersendiri yang belum tentu ditemui di hunian lain."

"Bukannya bisa dimanfaatin lahannya buat nambah bangunan lain?"

"Ini lahan luasnya lima kavling, Mas. Nggak ada ceritanya akan kurang lahan. Ini bangunan rumah, bukan buat gedung. Mau bikin berapa luas bangunan lagi memangnya?" Lona balik bertanya.

𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang