Chapter 38

42 8 2
                                    

Windelina menatap foto keluarganya yang terpasang di ruang tengah kediaman Abraham. Selalu tersimpan perasaan menyakitkan saat melihat wajah ibunya di sana.

Sekalipun Windelina belum pernah bertemu dengannya langsung. Sebab wanita itu pergi tidak lama berselang usai melahirkannya. Windelina sempat berpikir, mungkin sebenarnya dia bukan putri kandungnya andai wajah mereka tidak mirip. Fakta yang membuatnya muak tiap kali orang-orang mengatakan hal yang sama.

"Kenapa sih aku nggak mirip Papa saja?" tanyanya sarkas.

Tersenyum pahit setelah melontarkan demikian. Regan barusan pulang, membuat Windelina leluasa memuntahkan keluh kesahnya di depan Abraham. Itu jugalah alasan Windelina tidak menahan suaminya untuk menginap bersamanya di sini.

"Delin bahkan nggak tahu mereka sedang memuji atau mengejek saat berkata bahwa aku mirip wanita itu," sambungnya pahit. Windelina kembali menyorot sinis foto ibunya.

Abraham menahan napas. "Delin, bagaimana pun dia tetap ibumu. Jangan terlalu membencinya."

Windelina tertawa getir. "Bukankah Papa sendiri berubah gila kerja karena berusaha melupakan wanita yang memilih pergi bersama mantan kekasihnya itu?"

Abraham bungkam. Apa yang Windelina katakan tidak sepenuhnya salah, namun masih ada hal lain yang ia tutup rapat. Bukan hanya itu yang menjadi beban Abraham selama ini.

Beberapa lukisan beraliran romantisme milik ibunya juga masih terpasang rapi. Kakek dan neneknya yang melarang menurunkan mereka. Memperlakukan rumah ini seolah sang pemilik masih tinggal di tempat yang sama setelah dua puluh tiga tahun berlalu. Windelina tersenyum pahit menyadari bahwa darah seni dari ibunya juga mengalir dalam dirinya.

"Kakek dan Nenek bahkan nggak pernah mempedulikan perasaan kita dengan terus memaksa memasang foto dan lukisan wanita itu di rumah ini. Padahal semua orang tahu dia nggak akan pernah kembali."

Windelina menggerakkan kursi rodanya ke arah Abraham yang masih terpaku. Tidak tahu harus berkata apa bahkan untuk sekadar menghibur putrinya. Abraham sendiri merasa tertekan jika teringat keputusan yang ia ambil di hidupnya dulu.

"Nggak ada yang benar-benar menyayangiku kecuali Papa," isaknya pilu.

Abraham menggeleng. "Jangan berkata begitu. Regan juga menyayangimu, Sayang."

"Kita semua tahu Kak Regan menikahiku karena terpaksa. Perasaannya padaku tidak pernah berubah sekuat apapun aku berusaha mengambil hatinya," lirih Windelina miris. Abraham menghela napas. Tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Regan, sebab Abraham tahu persis bahwa perasaan tidak bisa dipaksakan.

Tidak lama kemudian tangan Windelina bergerak kasar menyeka air matanya sebelum kembali tumpah. Juga, Windelina merasa pesta yang Regan gelar untuknya tidak lebih hanya bentuk rasa iba padanya.

Mungkin agar Windelina tidak terlalu memikirkan perkataan Natalie,

mungkin agar Windelina merasa tidak bosan menjadi pajangan di rumah,

atau karena rasa bersalah Regan yang sempat menghilang semalaman tanpa kabar.

Bukan bentuk sebuah ketulusan seseorang untuk wanita yang dicintainya. Sebagian besar tamu undangan juga berasal dari kolega Regan, bukan pihak Windelina yang tidak seberapa jumlahnya. Mungkin lebih cocok jika disebut ini adalah pesta Regan ketimbang ulang tahun Windelina.

Senyum juga tatapan yang selalu ia tunjukkan pada Windelina, sejak dulu masih sama.

Seperti Kalina, Windelina tahu dia hanya menganggapnya tidak lebih dari seorang adik yang perlu dilindungi.

**

"Kenapa cuma mie instan?"

"Nggak usah rewel!"

Lona terus memakan mie kuah yang masih mengepul di hadapannya dengan lahap. Sementara Regan masih melayangkan tatapan penuh protesnya. Tidak rela Lona menghentikan ritual memasaknya secara sepihak dengan alasan takut Regan membakar apartemennya.

𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang