Chapter 42

45 9 3
                                    

“Kamu kok mau kayak gimana aja tetep cantik sih?”

Regan baru saja memasangkan helm proyek berwarna putih pada Lona. Kemudian merapikan surai legam Lona yang hari ini diikat ke belakang agar tidak mengganggu aktivitasnya. Regan lantas tersenyum teduh menatap Lona ada di hadapannya. Ada rasa bangga terselip menyadari ia ikut andil dalam proses Lona berkembang.

“Kamu natapnya biasa aja bisa nggak, Nan?” gerutu Lona kemudian melangkah mundur. Regan benar-benar memperlakukannya layaknya seorang ayah yang hendak mengantar putrinya sekolah untuk pertama kali.

“Udah bawa air minum ‘kan?” tanya Regan mengingatkan. Entah berapa banyak pertanyaan random yang sebelumnya sudah terlontar dari mulutnya.

“Udah!” sewot Lona mulai risi. Lantas ia mendorong Regan agar lekas menjauh. “Kamu duluan aja biar kelihatannya kita nggak barengan.”

Teringat peringatan Dirga agar ia selalu menjaga jarak dengan Regan di sini.

Wajah Regan tampak tidak ikhlas, namun untungnya dia langsung menurut. “Oke, aku duluan ya. Kamu cepetan nyusul.”

“Hati-hati tanahnya agak licin. Semalem di sini habis hujan,” imbuh Regan khawatir.

“Iya bawel!”

Setelahnya Regan melangkah lebih dulu. Lona memutuskan untuk menunggu Dirga dan datang bersama dengannya. Tidak biasanya Dirga ketiduran sampai keblalasan. Mungkin terlalu kecapekan karena mereka bertiga memang baru tiba di Yogyakarta saat subuh menjelang.

Beberapa menit berlalu, Lona melirik jam di pergelangan tangannya. Ternyata Dirga lebih lama dari perkiraannya. Membuatnya menimbang apakah lebih baik dia menyusul Regan sekarang dari pada lelaki itu masih terlihat sendirian di sana. Bukankah lebih baik hanya satu orang yang telat dari pada semua terkesan terlambat?

“Pergi duluan deh,” putus Lona berkata pada dirinya sendiri. Toh, Dirga bukan anak kecil yang harus dia tunggu.

Benar kata Regan. Tanah yang ia pijak cukup licin. Bercampur dengan bebatuan juga genangan air bekas semalam. Lumayan cukup menyulitkannya. Lona mulai menyesal kenapa dia tidak menerima ajakan Regan untuk jalan bersama. Paling tidak akan ada seseorang yang membantunya untuk melangkah. Mau minta bantuan pekerja umum Lona juga gengsi. Ia paling anti dinilai lemah.

“Aduh!”

Lona akhirnya benar-benar tergelincir sekarang. Pantatnya mendarat bebas di tanah membuat noda lumpur memenuhi celananya. Lona meringis ngilu.

“Velona kamu nggak apa-apa?”

Entah dari mana, Bima tiba-tiba muncul di hadapannya. Terburu-buru bak pahlawan kesiangan, ia membungkuk di samping Lona dengan wajah super khawatirnya.

Lona masih meringis nyeri. Memegangi pinggangnya dengan wajah menahan malu. Tentu saja Lona malu ada yang memergokinya jatuh layaknya anak kecil. Kenapa juga harus Bima yang membantunya?

Ah, ini gara-gara Dirga! Jika Lona tidak memutuskan menunggunya dan berangkat bersama Regan. Bima tidak perlu menemukannya dalam keadaan memalukan ini.

“Tulang kamu ada yang patah?” tanya Bima lagi. Air mukanya semakin terlihat gelisah. “Mau langsung ke rumah sakit sekarang? Kebetulan di Solo ada rumah sakit khusus tulang, saya bisa bawa kamu ke sana sekarang kalau mau. Mumpung deket.”

“Itu nggak deket. Jauh,” tolak Lona cepat. Lona baru tahu selain pemain wanita, ternyata Bima termasuk golongan manusia lebay.

"Biar saya bantu," tawarnya.

"Nggak apa-apa Mas Bima. Saya bisa sendiri kok."

Tidak mau terjebak lebih lama lagi dengan Bima, Lona berusaha berdiri. Refleks Bima ikut memeganginya, namun ketika tangannya mulai menyentuh perempuan itu, seseorang menepisnya dan mengambil alih Lona.

𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang