Chapter 8

83 12 3
                                    

"Katanya baru berangkat besok pagi, kok Kak Ilo malah udah nyampek sekarang."

Kale―adik lelaki Lona, sejak kecil selalu memanggil Lona dengan sebutan Ilo. Ia segera mengambil alih bawaan Lona yang tidak seberapa banyak. Kale baru diberitahu 30 menit yang lalu bahwa Lona akan segera sampai dan Kale ia perintahkan untuk menjemput di stasiun. Alhasil Kale sedikit kelimpungan, untung saja ia masih begadang.

"Surprise," jawab Lona datar. Bisa-bisanya ada orang berkata demikian dengan wajah bosan.

Kale menggelengkan kepalanya. Gurat wajahnya masih bercampur antara kesal, khawatir sekaligus terkejut. "Masalahnya ini sudah tengah malem dan Kak Ilo itu cewek. Nggak aman Kak."

"Bawel," cibir Lona.

Kale sudah kehabisan kata-kata. Sejak tadi ia terus berbicara panjang lebar dan kakak satu-satunya itu hanya membalasnya dengan singkat.

"Kak Ilo sudah makan malam?" Kale pun mengalihkan topik, sembari menyimpan barang-barang Lona di dalam bagasi mobilnya.

"Eh, mobil siapa?" Lona kelihatan kaget.

"Mobil kantor," jawab Kale kalem.

"Wih, canggih kerja baru setahunan udah dapet fasilitas begini," puji Lona sebelum mengacak gemas puncak kepala Kale penuh rasa bangga. Kale tidak menghindar, sebagai gantinya ia malah tersenyum senang melihat reaksi kakaknya.

"Gimana Kak? Udah makan? Mau cari makan sekalian?" tawar Kale lagi. Kali ini terdengar lebih bersemangat karena Lona baru saja memujinya.

Lona mengangguk setuju. Terakhir ia mengisi perutnya tadi siang dan hanya mengganjal dengan roti seadanya selama perjalanan ke Bandung. Entahlah, rasanya seharian ia tidak berselera makan dan yang jelas itu bukan karena sikap menyebalkan Regan.

Kedua manik Lona tampak berkilat. "Seafood biasanya masih buka?"

"Tadi aku lewat masih buka kok. Aku juga lagi pengen cumi asam manis," timpal Kale setuju.

Keduanya langsung bergegas. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di tempat makan yang mereka tuju karenan jalanan sudah mulai lengang lewat tengah malam.

"Kak Ilo gimana kuliahnya lancar?" tanya Kale di sela acara late dinner mereka. Bukannya langsung menjawab justru Lona tergelak. Aneh rasanya Kale bertanya demikian padanya.

"Harusnya kebalik nggak sih?" canda Lona.

Kale tersenyum kalem. "Itu gara-gara Kak Ilo milih buat kerja biayain aku sampai tuntas dulu baru Kak Ilo mau lanjutin kuliah."

Sebagai satu-satunya keluarga yang masih tersisa untuk Kale, tentu Lona merasa memiliki tanggung jawab besar untuk merawat adik lelakinya tersebut. Sebab itulah Lona menunda untuk melanjutkan kuliah karena selepas SMA, ia langsung memutuskan untuk bekerja. Beruntung Kale memiliki otak yang cukup pintar. Tidak sampai empat tahun dia sudah mendapat gelar sarjana dan sebelum wisuda, ia sudah direkrut oleh perusahaan tempatnya magang. Bahkan menjadi pengangguran saja Kale tidak sempat saking pintarnya.

"Makasih ya Kak Ilo," ucapnya tulus.

"Jadi pengen nangis," ucap Lona mendadak terharu.

"Terharu karena lihat Kale udah bisa kayak gini?" tebak Kale percaya diri.

"Bukan, karena sekarang aku jadi yang paling tua seangkatan." Usianya sudah menginjak dua puluh lima, tapi Lona masih berada di semester empat. "Banyak yang ngira aku senior tua yang ngulang mata kuliah dan nggak lulus-lulus. Ada juga yang nebak aku hamil duluan makanya terus ditutupin dengan ambil cuti kuliah," curhat Lona. Bukannya tersinggung, Lona malah tertawa.

𝘍𝘢𝘷𝘰𝘳𝘪𝘵 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang