19. Kesadaran?

7.1K 371 21
                                    

Aishla terus menundukkan kepalanya. Dia tak berani menatap sang suami yang terus mengarahkan tatapan mengintimidasi padanya. Dia tahu, dirinya salah, karena pergi tanpa meminta izin darinya. Tetapi, tak bisakah Arsyan tak memasang wajah menyeramkan yang sangat membuatnya ketakutan?

"Siapa yang menyuruhmu hadir di acara itu, Aishla!!" tanyanya membentak, membuat istri dan putranya terperanjat kaget.

"Aishla minta maaf, Mas. Aishla salah."

Seketika, amarah Arsyan meluruh kala mendengar istrinya memanggil dengan sebutan 'Mas'. Ada rasa senang yang menyelinap masuk ke dalam hatinya. Saat menikah dengan Alyana, wanita itu tak pernah memanggilnya dengan embel-embel apapun. Begitu juga dengan Alisya.

"Papa..." cicit Arrayyan "Jangan salahkan Bunda Aishla. Array yang meminta Bunda untuk menemani Array datang di acara ulang tahun Alfi." Arrayyan menundukkan kepala, merasa bersalah telah membuat sang ibunda terkena amarah Papanya.

Arsyan terkejut bukan main. Dia tak mungkin salah mendengar bukan? Kedua telinganya masih berfungsi normal. "Sejak kapan kamu memanggilnya Bunda, Array?"

"Kemarin. Array pikir, karena kalian sudah menikah, jadi dia menjadi Bunda Array sekarang." cetusnya tanpa mempedulikan raut wajah Arsyan yang berubah. Memang seharusnya seperti itu bukan? Aishla telah menjadi istri sahnya yang berarti wanita itu juga berstatus sebagai ibu sambung bagi putra semata wayangnya.

Sejenak, Aishla terdiam mendapati jawaban tak terduga dari putranya itu. Dia sungguh tidak percaya, jika Arrayyan telah menerimanya. Setibanya di rumah, Arsyan langsung menyeretnya masuk. Meninggalkan Arrayyan yang masih berada di dalam mobil. Arrayyan tahu, jika sang Papa selalu melarangnya menghadiri acara-acara yang tidak penting. Dia merasa takut, bila wanita itu akan menanggung hukuman darinya.

"Kok sudah pulang, La? Array mana?" tanya Anatasya keheranan melihat menantunya yang kembali ke rumah dengan cepat.

"I-Itu, Bu—" sahut Aishla terpotong karena Arsyan kembali menarik tangannya. Dia tergopoh-gopoh menyusul langkah lebarnya yang menaiki anak tangga.

"Mas, pelan-pelan!" tegurnya yang diabaikan oleh Arsyan.

Brrakkk

Arsyan membanting pintu kamar. Dia mendudukkan istrinya di pinggiran kasur. Wajah pria itu merah padam. Kedua tangannya memegang kedua bahu Aishla yang bergetar. "Apa kamu tau kesalahanmu?"

Dengan susah payah, Aishla menelan salivanya. Perlahan, dia menganggukkan kepala. Dia mengaku, dirinya bersalah. "Aishla pergi tanpa meminta izin dari, Mas." cicitnya seraya memejamkan mata. Tak berani menatap manik mata hitamnya.

"Aishla pikir, Mas nggak akan pulang cepat karena Mas sendiri yang mengatakan akan mencari keberadaan Mbak —" Aishla terbelalak saat bibirnya dilumat kasar oleh suaminya sendiri. Dia mencengkeram kerah kemeja yang dikenakannya. Arsyan yang tersadar telah membuatnya kehabisan napas pun, segera mengakhiri ciumannya.

"Maaf." ucapnya sambil mengelus sudut bibir Aishla, lalu mengecupnya.

Aishla meremas ujung jilbabnya. Jujur saja, dia tidak mengerti dengan sikap pria mesum disebelahnya. Jika Arsyan bukanlah suaminya, mungkin dia tidak akan terima dicium kasar seperti tadi.

Mata Arsyan memijit pelipisnya. Mengingat kejadian di rumah sahabatnya. Jika Ariel tidak memancingnya agar cepat sadar, mungkin dia akan kembali kehilangan. Karena ada banyak pria yang menginginkan wanita seperti Aishla untuk dijadikan sebagai seorang istri.

"Kenapa lagi lo? Jangan bilang lo masih mau cari Alisya?" tanya Ariel melempar tatapan tajam pada sahabatnya yang jarang sekali mendatangi rumahnya. Setiap kali Arsyan berkunjung, pria itu pasti memiliki maksud tertentu. Yang jelas, dia membutuhkan bantuannya.

(Bukan) Suami IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang