05. Menerima dengan Ikhlas (?)

5.9K 289 4
                                    

Setelah seharian berdiri di pelaminan, akhirnya Aishla dibawa menuju kediaman keluarga Arkatama. Gadis yang telah menyandang status sebagai istri dari seorang duda itu hanya bisa terdiam di dalam mobil. Dia duduk bersebelahan dengan Arsyan yang sibuk bertelepon. Tanpa harus bertanya, Aishla tahu jika pria yang telah sah menjadi suaminya itu tengah mengurus kasus Alisya yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak.

Rasa tak percaya menyusup ke dalam hatinya. Dalam waktu sekejap, dia menjadi istri dari duda yang disebutnya mesum itu. Aishla masih terbayang wajah-wajah terkejut dari teman-temannya. Terutama Salwa. Gadis itu sama sekali tak membuka mulut saat berhadapan dengan mereka.

Selama hidupnya, Aishla tak pernah terpikir menikah dengan seorang duda. Jika bukan karena Anatasya, dipastikan dirinya tetap menolak. Air mata Anatasya adalah kelemahannya. Ia tak tega jika Anatasya dan keluarganya akan menanggung malu atas pernikahan yang gagal terjadi. Semua yang dilakukannya hari ini hanya untuk menolong reputasi keluarga Arkatama dari aib terbesar.

"Pak, antar dia masuk. Saya masih ada urusan." titah Arsyan saat mereka tiba di pekarangan rumah.

Aishla sudah berganti pakaian dengan memakai gamisnya pun langsung turun keluar. Dia pikir, Aishla mau berlama-lama bersamanya? Tidak. Meski sadar, jika Arsyan tak menerima dirinya dan pernikahan mereka, Aishla akan berusaha mempertahankannya. Sekarang, bukanlah waktu yang tepat untuk keduanya berbicara. Pria itu masih sibuk mencari titik terang keberadaan wanita yang dia cinta.

"Mari Nyonya." ucap sang supir mempersilahkan Aishla masuk ke dalam rumah. Anatasya dan Arrayyan sudah pulang lebih dulu, karena bocah laki-laki itu yang sudah mengantuk.

"Jangan panggil aku Nyonya, Pak. Panggil aja Aishla." sahut Aishla yang keberatan jika orang yang lebih tua darinya, memanggil dirinya dengan sebutan 'Nyonya'. Selain itu, dia juga tak pantas dipanggil Nyonya. Dia dan pria paruh baya itu sepertinya berasal dari kalangan yang sama.

"Ndak bisa gitu. Nyonya 'kan, istrinya Tuan Arsyan."

"Eh, Aishla udah dateng? Arsyan-nya mana?!" pekik Anatasya berjalan menghampiri menantunya. Wajah wanita itu begitu sumringah mendapatkan menantu yang dia inginkan. Arsyan sangat beruntung bisa menikahi gadis shalihah sepertinya.

Aishla mendudukkan pantatnya di sofa. Dia tersenyum canggung pada wanita yang kini telah menjadi ibu mertuanya. Dia sedikit merasa bahagia. Setidaknya, ada Anatasya yang menerima kehadirannya.

"Kamu pasti capek ya? Si Arsyan itu emang nggak kira-kira ngundang orang sebanyak itu. Nanti, Ibu bakal cari tukang pijit untuk mijitin kaki kamu biar nggak pegel." cerocos Anatasya sambil memberikan segelas susu vanilla padanya.

"Terimakasih, Bu." ucap Aishla menerimanya.

"Sama-sama, Sayang. Jadi, mulai sekarang kamu nggak usah kerja lagi di Butik. Besok barang-barang kamu bakal dipindah ke sini semua. Terus, kamer Aryan itu yang pintunya warna putih. Kalo kamu mau istirahat langsung naik aja ke atas, ibu masih harus ngecek barang."

Aishla menggigit bibir bawahnya. Ia masih canggung berada di rumah sebesar ini. "Ibu, Aishla bantu ya?" cetusnya yang tak mungkin meninggalkan Anatasya yang sibuk mengecek barang seorang diri.

"Nggak usah, kamu istirahat aja. Cepetan naik ke atas. Array udah nungguin di dalem kamar!"

Kening Aishla mengerut. Tanpa banyak bicara lagi, dia menurut. Setelah berpamitan, kakinya melangkah menaiki satu per satu anak tangga. Kemudian, belok ke sebelah kanan. Aishla menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu berwarna putih itu.

"Bismillah..." Perlahan, Aishla membuka pintu. Dia menarik sudut bibir seraya mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar. Rapih. Satu kata yang mampu mendeskripsikan kamar sang duda. Bukan, maksudnya kamar Arsyan yang kini menjadi kamarnya juga.

(Bukan) Suami IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang