27. Aishla Hamil

6.3K 251 19
                                    

Perubahan sikap Arsyan membuat Aishla bingung bukan kepalang. Dia mencoba mengajak bicara suaminya, tetapi Arsyan selalu menghindar. Pria itu selalu menghabiskan waktu di ruang kerja selepas pulang dari kantor. Anatasya yang baru kembali ke rumah pun ikut dibuat bingung.

"La, kalian masih saling mendiami? Coba deh, kamu ngalah dan tanya Arsyan ada kesalahanmu. Kali saja, kamu berbuat salah tanpa disadari," ucap Anatasya pada menantunya.

"Sudah Bu. Aishla sudah meminta maaf, tapi Mas Arsyan nggak ladeni Aishla..." Tangis Aishla pecah. Dia merasa sangat tersiksa. Arsyan kembali dingin dan cuek padanya. Bahkan, pria itu enggan memakan masakannya.

Huueeekk

Aishla berlari ke dapur. Dia memuntahkan isi perutnya yang tiba-tiba mual. Anatasya memberikan segelas air hangat pada menantunya, lalu menuntunnya untuk duduk di sofa.

"Ya Allah, La... Kamu sampe sakit gini gara-gara stress mikirin anak Ibu yang kurang waras itu," celotehnya merasa kesal pada putranya yang tak tahu diri itu.

"Bu, Aishla mau istirahat ke kamer aja. Nggak kuat, pusingnya makin berasa." Aishla melangkah tertatih-tatih menuju kamar. Wanita itu menolak bantuan ibu mertuanya yang akan mengantarnya.

Anatasya merasa khawatir. Sudah setengah hari, menantunya mendekam dalam kamar. Dia memberanikan diri mendatangi kamar pasutri itu. Berkali-kali dirinya mengetuk pintu, tetapi tak ada sahutan dari dalam. Tanpa buang waktu, dia pun membuka pintu yang tak terkunci.

"AISHLA!!" teriaknya melihat Aishla tergeletak di lantai.

Wajah wanita itu pucat. Anatasya bergegas mengecek deru napasnya. Dia bernapas lega karena menantunya masih hidup. Kemudian, dia menghubungi putra sulungnya. Namun, Arsyan menolak panggilannya. Terpaksa, dia menelepon Arvan yang sedang bertamu di rumah tetangga.

"Halo, Van! Cepetan pulang, Aishla pingsan. Mama nggak kuat bopongnya!" pekiknya membuat Arvan di seberang sana segera berlari ke rumah.

Arvan membopong tubuh kakak iparnya dan membaringkannya di atas kasur. Tak lama, seorang dokter wanita pun datang. Arvan mengundurkan diri, menyisakan para wanita. Lelaki itu terduduk di lantai—luar kamar kakaknya. Dia terus memikirkan hubungan Arsyan dan Aishla yang akhir-akhir ini tidak baik. Dia menduga jika kakak laki-lakinya yang menyebabkan Aishla sakit seperti ini.

Di lain sisi, seorang pria tak bisa membohongi perasaannya yang mengkhawatirkan istri kecilnya. Dia mendapat pesan dari sang mama yang mengatakan jika Aishla tak sadarkan diri. Satu jam lagi, waktu kerjanya akan berakhir. Namun, ia tak bisa lagi menahan diri. Setelah meminta sang asisten untuk menggantikannya menyelesaikan pekerjaan, dia pun pulang ke rumahnya.

"Array," panggil Arsyan pada putranya yang duduk seorang diri di teras rumah.

Raut wajah murung Arrayyan membuat Arsyan merasa bingung. Ia menggendong tubuhnya dan anak laki-lakinya melingkarkan tangan di leher. Kepalanya disandarkan di bahunya. Perlahan, isak tangis terdengar. Arrayyan menangis dalam gendongan papanya.

"Kenapa jagoan Papa menangis?" tanya Arsyan dengan lembut.

Arrayyan menggeleng pelan. Tangis anak laki-laki itu bertambah pecah. Membuat Anatasya yang berada di kamar putranya bergegas menghampiri.

"Loh, kamu udah pulang, Syan?" tanyanya seraya melirik jam dinding. "Itu kenapa Array nangis? Kamu apain, ha?"

"Nggak diapa-apain, Ma," seloroh Arsyan mendudukkan putranya, lalu mengusap jejak air matanya.

Setelah Arrayyan tenang, Anatasya menyeret putranya ke kamar. Wanita itu menunjukkan sebuah alat tes kehamilan yang menunjukkan dua garis merah. Tak ada raut bahagia yang terpancar di wajahnya. Arsyan meremas alat tersebut dan melemparnya.

"Aishla, bangun!" pekik Arsyan membangun istrinya dengan kasar.

Aishla yang terkejut segera membuka matanya lebar-lebar. Ia mengubah posisi menjadi duduk dan menatap linglung ke arah suaminya yang terselimuti amarah. Anatasya yang tak mau terlibat dalam masalah rumah tangga mereka, memilih untuk pergi.

"Kamu hamil anak siapa?" tanyanya membentak. "Jawab Aishla!!"

"A-Anak Mas Arsyan," cicitnya merasa takut.

Arsyan melepas tawa. Dia menjambak rambutnya dan berdiri membelakangi istrinya yang sudah terisak. "Kamu nggak bohong?"

"Nggak, Mas. Aishla hamil anak Mas Arsyan."

Kepergian Arsyan telah meninggalkan luka di hatinya. Aishla pikir, kabar kehamilannya akan membuat hubungan mereka dekat. Namun, nyatanya, justru memperkeruh keadaan. Aishla dapat melihat jelas jika Arsyan tidak menerima kehadiran janin di kandungannya. Lalu, mengapa pria itu menghamilinya?

Selama tiga hari, Arsyan tidak pulang ke rumah. Dia hilang tanpa jejak. Arvan sudah mencarinya kemana-mana, tetapi tidak menemukan petunjuk apa pun. Membuat Aishla semakin stress. Selain Arsyan, putranya juga tampak menjaga jarak. Tak ada lagi Arrayyan yang suka bermanja-manja dengannya. Mereka kembali seperti awal bertemu dan Aishla tak menyukai hal itu.

"La, makan dulu, ya? Kamu jangan melamum terus, kasian dedek bayinya."

Sentuhan di perutnya yang masih rasa menyadarkan Aishla akan sesuatu. Dia tidak boleh kehilangan arah. Masih ada bayi yang dikandungnya. Dia tidak boleh menelantarkannya karena terhanyut dalam kesedihan ini.

"Aishla bisa makan sendiri, Ma," ucapnya mengambil alih sepiring nasi dari tangan Anatasya.

Wanita paruh baya itu mengurus menantunya dengan sangat baik. Dia tidak lagi pergi bekerja ke butik. Dia menyerahkan pekerjaannya kepada tangan kanannya untuk sementara waktu. Kondisi menantu dan calon cucunya jauh lebih utama.

"Bu, Aishla udah selesai makannya. Aishla mau nunggu Array pulang. Aishla kangen dia..." Mata Aishla berkaca-kaca. Dia dibantu oleh Anatasya menuju ruang tengah. Sebentar lagi, putranya akan tiba rumah.

Suara klakson mobil membuat sudut bibirnya tertarik. Aishla menyambut kedatangan anak laki-lakinya yang langsung lari menghindar. Hatinya berdenyut sakit. Air mata yang sejak tadi dibendung, akhirnya meluruh.

"Array! Tungguin Bunda, Sayang!"

Aishla tertatih-tatih menyusul putra tersayangnya. Dia menggedor-gedor pintu yang dikunci dari dalam. Tubuhnya yang masih terasa lemas meluruh ke lantai. Arvan yang baru saja tiba di lantai atas dikejutkan oleh tangisan kakak iparnya yang terdengar pilu.

"Kak Aishla," panggilnya mengulurkan tangan pada wanita tersebut.

Tak memiliki pilihan lain, Aishla pun meriah uluran tangannya. Dia dipapah oleh Arvan menuju kamar. Di kehamilan pertamanya itu terasa sangat sulit. Pusing, mual, dan muntah sudah menjadi kesehariannya. Selain itu, tubuhnya yang lemas membuat Aishla tak bisa banyak bergerak.

"Makasih, Van," ucapnya pelan, lalu masuk ke dalam kamar.

Arvan tidak tahan dengan penderitaan yang dialami oleh kakak iparnya. Arsyan sungguh kelewatan membiarkan Aishla tersiksa seorang diri. Seharusnya, pria itu menjadi suami siaga. Namun kenyataannya, kakak laki-lakinya hilang tanpa kabar.

Keesokan harinya, Arvan sengaja menunggu Arsyan di kantor. Dia melayangkan tatapan tajam pada pria yang mengabaikannya. Jika bukan karena kondisi Aishla yang lemah, dia tak akan mau ikut campur dalam masalah rumah tangga mereka yang tidak jelas.

"Bang, lo kelewatan. Kak Aishla lagi hamil anak lo, tapi lo malah lepas tangan gitu aja," ucap Arvan tanpa berbasa-basi.

Arsyan menatap malas ke arah adik laki-lakinya. Dia terlupa meminta satpam untuk tidak mengizinkan lelaki itu menginjakkan kakinya di sini. Ketenangannya kembali terusik saat Arvan mengungkit tentang kehamilan wanita tersebut.

"Lo pulang aja deh, gue males ngomong sama lo," jawab Arsyan mengusirnya.

"Bang! Lo kenapa berubah gini sih? Kemarin-kemarin, bukannya lo udah cinta sama Kak Aishla? Tapi kenapa sekarang lo abaikan dia?!" teriak Arvan kehabisan kesabaran.

Arsyan memejamkan matanya sesaat, lalu ia melangkah mendekati adiknya. "Gue nggak yakin dia hamil anak gue."































Lanjut??

(Bukan) Suami IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang