Sudah beberapa hari berlalu dan Alfi terus menutup diri dari semua orang. Hal yang dilakukannya hanya melamun seraya memandang foto sang papi. Aishla dan Arsyan tak menyerah membujuk anak itu untuk berbicara atau sekadar untuk mengisi perut. Sebab Alfi selalu menutup mulut rapat-rapat saat disuapi makanan oleh mereka.
"Alfi, makan dulu yuk, Sayang! Dua suap saja, Bunda mohon." Aishla menatap memelas ke arah Alfi yang tetap bergeming di tempat. Putra duda abadi itu meliriknya sekilas, lalu kembali memandang foto seorang pria di tangannya.
Dipojokkan kamar, Arrayyan menatap datar sepasang ibu dan anak angkat tersebut. Meski belum resmi, kedua orangtuanya telah setuju mengangkat Alfi sebagai saudaranya. Selama beberapa hari ini, dia telah diabaikan. Arsyan dan Aishla hanya memerhatikan Alfi seorang. Membuat Arrayyan merasa cukup kesal karena tak lagi mendapat perhatian penuh dari kedua orangtuanya.
"Kalo dia nggak mau makan, biarkan saja, Bunda. Toh, kalo dia lapar juga pasti bakal makan sendiri," ucap Arrayyan dengan ketus.
Aishla menghela napas panjang. Dia memutar tubuh menghadap putranya yang menekuk wajah. Kedua tangan mungil Arrayyan terlipat di depan dada. Sepertinya, anak itu benar-benar marah atas sikap keras kepala Alfi.
"Array sini," panggil Aishla sambil melambaikan tangan ke arah putranya.
Dengan terpaksa, Arrayyan melangkah mendekat. Dia mendudukkan diri di samping sang bunda, lalu menatap sinis Alfi yang mengabaikan keberadaan mereka. Entah mengapa, rasa ketidaksukaannya pada Alfi terus bertambah dari setiap harinya.
"Jagain Alfi sebentar, ya. Bunda mau ganti air kompresan," pinta Aishla seraya membawa baskom berisi air yang sudah mendingin.
Tak lama setelah kepergian sang bunda, Arrayyan pun segera angkat kaki. Dia tidak bisa berlama-lama dengan anak yang telah merebut kamar tidurnya. Selama Alfi sakit, Arrayyan lebih sering tidur bersama paman dan bibinya. Dia selalu menolak jika sang papa atau bunda mengajaknya untuk tidur bersama.
"Mama Alisya, Array laper."
Suara yang terdengar seperti mengadu itu membuat langkah Aishla terhenti. Pandangannya tertuju pada sang putra yang tengah bergelayut manja di lengan Alisya. Hatinya terasa sedikit sakit melihat kedekatan Arrayyan bersama wanita itu yang semakin lengket saja.
"Sayangnya Mama mau makan apa?" tanya Alisya seraya mencuri pandang pada sosok yang berada di belakang mereka.
"Array mau makan di luar. Ayo, ajak paman Arvan sekalian," pintanya sambil menarik tangan Alisya agar segera berdiri. Dia sudah tak sabar ingin mengisi perutnya yang keroncongan.
"Bunda Aishla 'kan sudah masak, makan masakan bunda Aishla aja, ya?" Arrayyan menggelengkan kepala. Mendapat penolakan dari anak tersebut, membuat Alisya terpaksa menuruti. Karena akhir-akhir ini, Arrayyan tidak makan secara teratur.
Sementara itu, Alfi menyaksikan hal yang mampu menyesakkan dada wanita yang sudah dianggapnya sebagai ibu. Dia tersadar, keberadaannya di sini telah menyakiti perasaan mereka semua secara tak langsung. Bahkan Arrayyan yang semula mengulurkan tangan kepadanya, kini mulai menunjukkan rasa ketidaksukaan.
"Maafkan Alfi, Bunda. Secepatnya Alfi akan pergi," gumamnya sembari meremas selembar kertas bertuliskan nomor telepon seseorang.
Seusai kepergian anak dan iparnya, Aishla mencoba untuk tetap tersenyum. Masih ada Alfi yang membutuhkan dirinya. Dengan berhati-hati, dia menaiki undakan tangga. Wanita itu terbelalak melihat sesosok anak yang menatapnya dalam.
"Ya Allah, Alfi... Kenapa di luar?"
Alfi tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan olehnya. Dia juga menolak ajakan kembali ke kamar. Di dalam diam, dia terus menekan rasa bersalah yang setiap hari menggerogoti hatinya. Dia cukup menyusahkan keluarga kecil ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Suami Idaman
SpiritualAishla terpaksa menikah dengan duda beranak satu demi memenuhi permintaan sang majikan yang telah dianggapnya sebagai ibu. Aishla kira, dia akan diperlakukan dengan baik setelah menyelamatkan reputasi keluarga Arkatama. Namun, dugaannya salah. Justr...