Sudah dua hari lamanya, Arrayyan terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Anak itu terus memanggil sang bunda yang sampai kini belum ditemukan. Arsyan dan Arvan sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, mereka masih belum bisa melacak keberadaannya. Anatasya yang sangat mencemaskan keadaan sang cucu memutuskan untuk meliburkan para karyawan butik dalam waktu yang tidak ditentukan. Mereka semua ditugaskan untuk mencari sang menantu sebagai jalan satu-satunya agar Arrayyan dapat kembali sehat.
"Array, dimakan dulu, ya, buburnya," ucap Arvan yang memiliki jadwal menjaga keponakannya hari ini.
Arrayyan menggeleng dengan mata terpejam. Dua anak sungai mengalir dari sudut matanya. Membuat Arvan merasa tak tega. Keponakannya itu menolak mengisi perut. Paling satu atau dua sendok bubur yang masuk ke dalam mulut setelah mendapat bujukan ekstra dari keluarganya yang mengimingi bahwa Aishla akan segera pulang jika dirinya makan. Akan tetapi, wanita yang dirindukan tak kunjung kembali. Sejak kemarin Arrayyan menunggu dan percaya saja oleh kebohongan mereka. Dan hari ini, dia tidak akan terperdaya lagi.
"Array mau Bunda..." rengeknya kesekian kali.
"Mama Alisya aja, ya, Ar. Nanti Paman jemput ke sini," bujuk Arvan sudah kehilangan akal untuk merayu sang keponakan.
"Nggak mau. Array maunya Bunda," kukuhnya membuat Arvan mengerang frustasi.
Suara pintu terbuka membuat mereka mengalihkan pandangan. Ada beberapa anak muda yang datang dengan membawa buah-buahan yang akan diberikan kepada cucu Anatasya yang jatuh sakit.
"Permisi, Mas, kita mau jenguk Array," ucap Diaz mewakili tiga temannya.
Arvan menganggukkan kepala, lalu memberi ruang kepada mereka. Dia duduk di sofa ruang rawat ini, sedangkan mereka berdiri di samping ranjang rumah sakit—tempat Arrayyan berbaring.
"Halo Array, aku Salwa, sahabat Bunda Aishla," sapa Salwa memperkenalkan diri. "Array harus cepet sehat, ya! Supaya bisa ikut cari Bunda."
Arrayyan menatap lurus ke depan. Tak tertarik dengan sesi perkenalan empat orang karyawan-karyawati sang oma. Dia hanya ingin bundanya cepat kembali. Mereka yang tak mendapat respon darinya, memutuskan untuk berbincang singkat dengan Arvan, kemudian berpamitan pulang. Mereka berpisah di lobi rumah sakit. Salwa menaiki angkutan umum untuk tiba di rumahnya. Sementara tiga temannya menggunakan kendaraan pribadi berupa kuda besi. Diaz tidak bisa mengantarnya pulang karena memiliki urusan keluarga.
Selama perjalanan pulang, Salwa terus memikirkan putra tiri sahabatnya. Ia tidak tega melihat kondisi Arrayyan yang tidak ada perkembangan sejak dirawat. Anak itu sangat sulit makan dan meminum obat. Jika terus seperti itu, dirinya tidak akan bisa sembuh.
"Assalamu'alaikum," ucap Salwa sambil membuka pintu.
"Wa'alaikumussalam. Gimana Wa, kondisi Array?" tanya Aishla yang sejak tadi menunggu kepulangannya.
Salwa menggeleng pelan, "Parah, La. Demam anak kamu belum turun. Dia susah makan dan minum obat. Ibu aja sampe drop, tapi nggak sampe dirawat sih, La."
Aishla menundukkan kepala. Perasaannya sangat campur aduk. Dia ingin menjenguk sang putra, tetapi dirinya takut akan bertemu dengan pria itu.
"Wa," panggilnya seketika melotot melihat bercak merah di lantai. Sontak dia mengedarkan pandangan ke setiap sudut—mencari keberadaan Salwa yang menghilang. "Salwa, kamu haid?!" Teriakan yang menggema membuat seorang gadis yang ada di dalam kamar mandi terbelalak.
"Aishla... Aku nggak ada rotinya," rengek Salwa menatap memelas ke arah wanita yang terkekeh melihatnya yang melongokkan kepala itu.
"Aku beliin," cetus Aishla berjalan mendekatinya dan menerima rupiah yang diberikan oleh Salwa. "Jangan lupa dibersihkan lantainya, ya, Wa. Aku pergi dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Suami Idaman
SpiritualAishla terpaksa menikah dengan duda beranak satu demi memenuhi permintaan sang majikan yang telah dianggapnya sebagai ibu. Aishla kira, dia akan diperlakukan dengan baik setelah menyelamatkan reputasi keluarga Arkatama. Namun, dugaannya salah. Justr...