UW-3

4.7K 303 5
                                    

Untuk usaha kita kerahkan seluruh tenaga. Sementara untuk hasil akhir kita serahkan pada Sang Maha Kuasa

***

Suara ricuh pembeli serta tangan yang bergerak lincah mengantungi makanan sudah menjadi makanan sehari-hariku selama tiga tahun ini. Tinggal di rumah seorang Bibi yang memiliki usaha kecil-kecilan di bidang makanan membuat hobi memasakku terealisasikan. Nilai plusnya, aku bisa kursus memasak secara cuma-cuma pada Bi Nina.

Seperti hari-hari biasa, sebelum Aku memulai pekerjaanku sebagai content writer Aku selalu membantu Bi Nina melayani pelanggan. Bila dipikir-pikir hidupku ini aneh sekali, sekolah menengah memilih jurusan IPS , kuliah pengin masuk jurusan tataboga, hobi menulis, sempat kerja di butik sebagai kasir kemudian berakhir terjun ke dalam dunia tulisan sepenuhnya.

"Neng Geulis, orek tempenya lima ribu plus sayur sopnya lima ribu juga," ucap seorang Ibu-ibu padaku.

Jika kedua sahabatku memanggil Aku dengan sebutan Nunu, maka disini Aku terkenal dengan sebutan Neng Geulis. Geulis bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya cantik, haruskah Aku terbang ke luar angkasa karena pujian itu?

Terkadang Aku merasa tak percaya diri pada wajahku yang menurutku pas-pasan ini, bahkan bila kuamati di cermin. Aku tak menemukan letak dari standar kecantikan yang terpahat di wajahku. Lantas kenapa semua orang menyebutku geulis, atau mungkin akunya saja yang kurang bersyukur atas penciptaan-Nya. Atau mungkin Akunya saja yang terlalu iri pada kecantikan perempuan lainnya.

Tepukan di pundakku menyadarkanku dari lamunan. Bi Nina menatapku tajam dengan kepala yang terus menggeleng. "Jangan melamun atuh Neng," katanya yang kubalas dengan cengiran.

Aku hampir lupa pada pesanan ibu tadi. Detik berikutnya Aku mengantungi orek tempe dan sayur sup seharga lima ribu. Setelahnya kuberikan pada Ibu tadi dengan kresek hitam tentunya.

"Neng geulis masih single?" tanya Ibu-ibu yang lain.

"Single Bu, belum ada yang punya dia mah," sahut Bi Nina.

"Eh kebetulan, putra saya yang di madura juga masih single. Umurnya belum tua-tua amat, masih 32 tahun, mau gak Neng?" Ibu tersebut menyorotiku dengan tatapan penuh harap.

Mendengar angka umurnya saja sudah membuatku bergidik, memangnya Aku ini jomblo karatan apa? Yang gak bisa dapetin yang lebih muda. Ish, Ibu ini ada-ada saja. "Kebetulan saya juga udah punya, Bu. Mungkin ibu bisa cari gadis lain buat putranya," dustaku.

Ampun Ya Allah, Hanum gak niat bohong sebenarnya. Tapi, daripada dijodohin sama pria tua mending Hanum pura-pura punya aja, ya meskipun dalam kenyataan boro-boro punya pasangan, move on dari dia aja ternyata Hanum belum bisa.

Helaan napas berat lolos dari bibir Ibu tadi, melihat wajahnya yang agak suram Aku jadi tidak tega membohonginya. Apa aku salah dengan berbohong seperti tadi.

"Maaf, Bu. Aku gak bermaksud buat Ibu sedih, mungkin menantu Ibu masih di jalan dan Aku doain supaya cepet ketemu," kataku.

Seutas senyum menghiasi wajah Ibu tersebut. "Aamiin, gak usah minta maaf Neng Geulis, kamu mah gak salah apa-apa," balasnya lalu melenggang pergi setelah Bi Nina menyerahkan uang kembaliannya.

"Bosen banget ya Neng, ditanyain udah punya atau belum," sahut seseorang.

Gendang telingaku sudah familiar dengan suaranya. Dia Bu Mela, tetangga super baik disini. Rasanya masih aneh saja kami bisa dekat seperti itu, kebetulan juga kami sering pengajian bareng di mesjid depan komplek.

"Iya Bu, capek aku tuh sebenernya," kataku menepuk dahi.

"Artinya masih single 'kan?" tanya Bu Mela yang kubalas dengan kekehan.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang