Mungkin sudah sekitar tiga puluh menit yang lalu kedua netraku tak berhenti melirik jam. Menunggu seseorang mengirimkan pesan atau menjemputku ke sini. Tapi, Mas Akbar masih asik di luar. Entah memang dia sedang berada di Cafe atau sedang berada di rumah sakit menemani Kak Riyana. Padahal dua menit yang lalu Kak Adam sudah mengirimiku pesan bahwa lelaki itu sedang on the way ke tempat janjian.
Aku semakin gelisah tak menentu. Sepertinya Mas Akbar tidak dapat diandalkan. Lebih baik Aku langsung pergi menuju tempat di mana Aku dan Kak Adam akan bertemu dibanding harus membuat lelaki itu menunggu di sana seorang diri.
"Akbar masih belum dateng buat jemput juga?" Bi Nina bertanya yang kutanggapi dengan senyum kikuk, nggak tahu harus jawab apa. Takutnya image Mas Akbar hancur di depan Bi Nina, apa lagi beliau sangat mempercayai Mas Akbar.
Baru mau Aku menjawab, ponselku bergetar. Orang yang kutunggu sejak tadi akhirnya mengirimkan pesan juga. Walau pada akhirnya pesan tersebut membuat binar di mataku meredup dan membuatku menghela napas lelah.
Mas Akbar
Kamu ke rumah sakit aja ya. Biar saya anterin dari sini. Dari sana naik Go-jek aja.
Benar 'kan tebakanku. Aktivitasnya dua minggu ini nggak jauh-jauh dari rumah sakit. Harusnya ia memberi tahuku lebih awal agar Aku tidak perlu menunggu lama.
"Ini udah, kok, Bi." Tanpa berlama-lama lagi Aku berpamitan pada Bi Nina. Bergegas pergi lalu segera meng-order ojol. Mulanya Aku sempat ingin langsung pergi ke Hummingbird aja, hanya saja Aku menghargai Mas Akbar yang sudah mau mengantarku. Lebih dari itu Aku nggak mau berbincang berduaan dengan Kak Adam.
Sampai di rumah sakit Aku langsung menuju ruang perawatan Kak Zaki tanpa memberi tahu Mas Akbar bahwa Aku sudah sampai. Dan sepertinya pilihanku untuk datang ke sini merupakan sebuah keputusan yang salah besar.
Semalam, seperti biasa lelaki itu memelukku saat tidur. Dan bagaimana bisa sore ini dia memeluk perempuan lain, di lorong pula.
Seluruh tubuhku membeku, untuk beberapa saat kedua kakiku terasa lemas dan tak bisa menopang badan. Belum lagi dadaku yang terasa sesak hingga napasku menjadi tidak beraturan. Harus banget ya seorang istri memergoki suaminya sendiri tengah memeluk wanita lain? Mana Kak Riyana tampak bersender dengan nyaman pada bahu Mas Akbar lagi, sembari berderai air mata pula.
Apa sedikit pun wanita itu tidak memikirkan perasaan istri dari lelaki yang tengah ia jadikan pundaknya sebagai senderan?
Enggan menyaksikan adegan itu lebih lama, Aku pun berbalik badan. Jangan tanyakan bagaimana perasaanku sekarang, sebab rasanya sudah sangat berantakan. Air mata sialan yang berusaha kutahan juga mendesak keluar tanpa izin.
Tiba di parkiran, Aku segera memesan ojek online untuk mengantarkanku ke Hummingbird. Andai Aku pergi ke sana lebih dulu, mungkin hatiku nggak akan sehancur saat ini. Sakitnya bahkan dua kali lipat lebih nyeri dari pada saat dulu Aku menyaksikan pernikahan Humaira dan Kak Adam.
Aku nggak bisa ke rumah sakit dulu, Mas. Kak Adam udah nungguin, jadi Aku izin ke sana langsung.
Dan dengan bodohnya Aku tetap memberi tahu lelaki itu. Padahal mungkin dia tidak peduli. Setidaknya Aku masih berusaha menjadi istri yang baik dengan meminta izin padanya.
"Punten, Neng Hanum bukan?"
Aku menarik kedu sudut bibir, lantas mengangguk pelan pada seorang Bapak dengan jaket berpolet hijau yang sejurus kemudian menyodorkanku helm. Di sepanjang jalan menuju ke sana, air mataku terus berjatuhan. Penampilanku juga sudah tidak karuan. Entah apa yang akan Kak Adam pikirkan bila Aku bertemu dengannya dalam kondisi seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Wedding
Romance"Niatnya cari tunangan sewaan, eh tau-taunya malah dapet suami beneran." Kalimat itu sudah cukup mendeskripsikan kisah cinta dari Hanum Wardani. Di tengah-tengah pelariannya. Masa lalu kembali membawanya pada masalah rumit yang membuat ia dilema. Te...