UW-15

3.8K 288 15
                                    

Happy Reading, Dear.

...

Seminggu menjelang pernikahan Aku bersama Bi Nina bertolak ke Jakarta, tentu saja diantarkan oleh Mas Akbar tercinta. Gaun pengantin yang kupesan telah jadi dua hari yang lalu dan kini kubawa ke Jakarta, serta pengajuan isbat nikah pun sudah selesai dan Aku sudah memegangi buku nikah berwarna hijau.

Satu lagi, undangan. Aku dan Mas Akbar sepakat untuk membuat sekitar dua ratus undangan saja. Berhubung kami mengambil tema Intimate wedding, jadilah yang kami undang hanya orang-orang terdekat dan penting saja. Btw, itu hanya undangan cetak saja. Kami juga membuat undangan digital yang kami sebarkan pada orang-orang yang berteman baik dengan kami.

Untuk tempatnya sendiri, berdasarkan kesepakatan bersama kami memilih melangsungkan pernikahan di sebuah Vila yang berada tak jauh dari rumahku. Dan acaranya diadakan di outdoor sesuai keinginanku yang bersyukurnya disetujui oleh Mas Akbar.

Meskipun ketemu jodoh dan akadnya dadakan, setidaknya Aku diberi kesempatan untuk menyiapkan pesta perayaan. Belum banyak yang kuketahui dari Mas Akbar selama dua puluh hari intens komunikasi, Aku hanya mendapatkan info umum saja tentang dirinya. Juga sedikit sifat yang menyebabkan menurutku, salah satunya menyebalkan dan lumayan irit bicara. Lelaki itu hanya akan bersuara bila ditanya, ingat! Hanya ketika dia ditanya atau ketika dia punya kepentingan padaku. Contohnya saat ia memgajakkku untuk membeli barang seserahan. Dia mengabariku tepat satu jam sebelum kami berangkat ke Mall.

"Jakarta macet banget ternyata ya, Bang." Itu adalah keluhan pertama yang Mas Akbar ucapkan saat ia tiba di rumah kami.

"Makanya sering-sering ke Jakarta biar terbiasa," balas Bang Faris.

Aku sendiri langsung bergegas ke dapur untuk mengambil segelas air karena kehausan, Jakarta begitu panas-masih panas seperti tiga tahun yang lalu.

"Bandung juga sama macetnya, kok. Tapi Jakarta lebih parah sih." Suaranya masih samar-samar kudengar dari dapur.

"Ya wajar lah, lu masuk ke Jakarta pas lagi lunch."

"Ya masa saya harus berangkat jam dua pagi cuma buat menghindari kemacetan."

Sangat jomplang sekali memang. Bang Faris dengan akses lo-guenya, sementara Mas Akbar dengan aksen saya-kamu. Terlihat seperti neraka dan surga memang.

Eh, tapi ... Mas Akbar bisa bercanda juga ternyata.

"Kamu gak ada niatan pindah ke Bandung gitu?"

"Kenapa emang?" tanya Bang Faris, perbincangan mereka masih dapat kudengar karena jarak dari dapur menuju ruang keluarga sangatlah dekat.

"Soalnya Bandung lebih adem dari Jakarta."

"Eh, Dek. Kapan kamu sampe?"

Aku dikejutkan dengan kehadiran Mbak Dini yang datang tiba-tiba dari belakang, tepatnya dia habis keluar dari wc yang berada di dapur.

"Astagfirullah, Mbak. Kenapa sih hobinya ngejutin mulu, untung Aku gak jantungan," kataku protes yang hanya dibalas kekehan tawa oleh wanita yang sebenar lagi akan menjadi seorang Ibu.

"Baru sampe sih."

"Sama siapa aja ke sini?" tanya Mbak Dini, matanya sudah celingukan ke ruang keluarga, padahal jelas-jelas antara ruang keluarga dan dapur terdapat sekat.

"Bi Nina sama Mas Akbar."

"Mang Azzam sama Andra gak ikut?"

Aku menggeleng pelan, kembali membuka lemari es hanya untuk mengambil sebotol jus jeruk yang kemudian kutuangkan ke dalam dua gelas besar. Lalu kusajikan dengan nampan.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang