UW-17

3.4K 270 12
                                    

Happy Reading, Dear

...

Sejak menginjak usia dua puluh, Aku kerap kali mendapatkan pertanyaan seperti 'Kapan menikah?', 'Udah punya calon belum?', 'Kapan bawa gandengan?', 'Gak bosan sendirian terus?', dan beragam pertanyaan yang sama. Awalnya Aku merasa kesal, tetapi karena Aku sudah sering mendapat pertanyaan tersebut Aku jadi terbiasa dan sekarang dapat menanggapinya dengan santai.

Katanya sih usia ideal bagi seorang perempuan untuk menikah itu tidak lebih dari dua puluh lima, apa lagi tiga puluh. Kalau secara biologis, perempuan memang punya rentang usia produktif. Tetapi, bukan berarti hal itu harus membuat perempuan terburu-buru menikah. Karena faktanya ada beberapa hal yang lebih penting untuk dipertimbangkan ketimbang 'usia produktif'.

Bagiku, tidak ada usia ideal yang tepat untuk menikah selain kesiapan mental, finansial, lahir batin, dan juga ilmu. Singkatnya, 'Usia ideal' dalam opiniku adalah sebuah hal yang bersifat subjektif; kembali lagi pada diri sendiri. Lebih dari itu jodoh adalah salah satu hal yang lebih samar dibanding ikhfa sendiri. Jujur saja, dengan memiliki pemikiran seperti itu Aku menjadi orang yang lebih tenang dan tidak terpengaruh orang-orang padahal delapan puluh persen teman-temanku sudah menikah bahkan sudah memiliki anak. Untuk mereka yang sudah menemukan pasangannya, Aku ikut bahagia dan untuk mereka yang masih mencari Aku selalu mendoakannya.

Setelah Aku mengabari teman-temanku bahwa Aku akan segera melangsungkan pernikahan, mereka terkejut bukan main. Ayolah, Aku juga terkejut. Teman-temanku tentu tahu bahwa Aku bukanlah orang yang terlalu mengambil pusing mengenai pernikahan, kemudian tiba-tiba Aku memberi mereka undangan. Jelas saja mereka bereaksi seperti itu. Mungkin di pikiran mereka, Aku si yang tak cukup menaruh atensi lebih pada pernikahan ini haruslah menikah di akhir. Tetapi, takdirnya kan tidak begitu.

Allah bilang Aku harus menikah di usia 23, tentu Aku tidak bisa menolak apa lagi menentang. Semua punya waktunya masing-masing, bukan waktu menurut kita, tetapi menurut sang Maha Kuasa. Kalau belum waktu-Nya, segala sesuatu yang diusahakan akan tetap tidak menghasilkan harapan yanh sesuai. Tetapi, kalau sudah waktu-Nya segala sesuatu yang kita perjuangkan akan menuai hasil yang lebih indah dari apa yang kita harapkan.

Setidaknya, itulah konsep takdir yang kupercayai.

"Mama, Kak Hanum kan udah jadi istri Om Akbal. Jadi, Fila halus manggil apa?"

"Fila bisa panggil apa aja. Mau Aunty, Kakak, atau Bunda pun nggak apa-apa," sahutku lalu membelai pipi gembul Shafira. Panggilan itu tidak penting menurutku, toh Aku sudah kenal dekat dengan Shafira dan sudah menganggapnya sebagai adik sendiri. Maklum saja Aku anak bungsu, tidak pernah memiliki adik sebelumnya. Jadi, saat bertemu Shafira Aku merasa seperti memiliki seorang Adik.

"Jadi gimana, Ma?" Shafira kembali bertanya pada sosok ibunya yang memakai cadar.

"Ya bebas semaunya Shafira aja, kan Onti Hanumnya udah bilang gitu. Mama sih setuju aja, asal Firanya seneng." Mbak Zahra mengusap kepala Shafira.

"Fila mau panggil Onti aja. Soalnya kalau Bunda, Fila kan udah punya Mama. Dan Mama cuma satu-satunya yang berhak dipanggil itu."

Aku begitu termangu mendengar ucapan Shafira yang sungguh mengandung bawang, bahkan Mbak Zahra yang mendengarnya sampai menitikkan air mata. Bunda juga sama, beliau kelihatan sangat senang melihat cucunya sampai matanya berkaca-kaca.

"Firanya bisa buat Aku aja gak, Mbak? Soalnya gemes banget," kataku bercanda.

"Kamu kan tinggal buat, Num. Nanti bikin satu sama Akbar," celetuk Bi Nina.

"Iya, bikin aja Num. Biar nanti Shafira ada temennya," tambah Mbak Zahra.

"Biar Mbak juga punya keponakan." Mbak Dini ikut mengimbuhi.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang