UW-52

3.1K 367 55
                                    

Mas Akbar yang tiba-tiba datang ke kafe jelas membuatku kaget. Aku kira dia tidak akan menyusul mengingat sebelumnya lelaki itu nampak nyaman bermesraan dengan wanita masa lalunya. Lagi pun Aku tidak meminta dia untuk datang atau menjemputku. Harapanku sudah kandas sejak sore itu.

Kami bertiga terlibat obrolan ringan, Kak Adam juga nggak lagi membahas masa lalu. Aku serta Mas Akbar pun berhasil menciptakan suasana yang nyaman dan malah terkesan seperti pasangan suami istri yang bahagia. Padahal di belakang semua orang kami sibuk bergelut dengan ego dan pikiran masing-masing.

Satu hari. Aku hanya berhasil meredam segala emosiku dalam dua puluh empat jam, karena sehabis salat isya semuanya tumpah begitu saja. Aku tidak bisa menahan segala prasangkaku lagi dan secara terang-terangan mengungkapkan isi hatiku.

"Kalau Mas masih terjebak di masa lalu, kenapa Mas menyetujui pernikahan ini?"

Mas Akbar bergeming, ada guratan bingung yang tergambar di wajahnya meski ekspresi lelaki itu masih tenang di saat emosiku sudah meledak-ledak.

"Masa lalu apa?"

Oh tentu dia membutuhkan penjelasan lebih dariku. "Masa lalu Mas sama Kak Riyana."

Pupilnya yang tiba-tiba melebar jelas-jelas menunjukkan kekagetannya. "Kenapa? Aku nggak berhak tahu itu semua, ya?"

"Kamu tahu dari mana?"

Pertanyaannya itu sungguh membuat gejolak amarah di dadaku kian menjadi. Dia seolah tak terima Aku mengetahui masa lalunya.

"Nggak penting. Justru seharusnya Aku tanya kenapa Mas nggak ngasih tahu Aku dari awal? Kenapa Mas malah nyembunyiin itu semua?" Jujur, mengetahui hal sepenting itu dari orang lain sangat menyakiti hatiku.

"Karena itu bukan hal yang penting, Num."

Aku tertawa miring. "Bukan hal yang penting?" tanyaku satir.

"Bukan hal yang penting atau Mas sengaja nggak ngasih tahu biar Mas bisa dengan bebas mengharapkan dia?"

"Kamu ngomong apa, sih, Num? Saya nggak ngasih tahu kamu karena saya rasa itu bukan hal yang penting. It's just a past, Num. Mau kamu tau atau nggak pun itu nggak punya impact apapun buat pernikahan kita."

Dengan enteng Mas Akbar bilang bahwa masa lalunya nggak punya pengaruh apapun pada hubungan kami, padahal jelas masa lalu yang ia tutupi itu bisa menjadi bom waktu dan sumber kesalahpahaman seperti sekarang ini.

"Mas, pernikahan yang kita jalani ini fondasinya terbentuk dari kepercayaan. Dan kepercayaan itu bisa didapatkan kalau kita saling jujur satu sama lain. Kalau Mas nggak bisa jujur tentang masa lalu Mas, gimana bisa Aku percaya sama Mas? Gimana bisa Aku percaya kalau Mas udah nggak punya rasa sama Kak Riyana?"

Penglihatanku mulai mengabur. Inilah kenapa Aku sering kali diam saat sedang emosi, karena selain amarah yang keluar kerap kali tangisku juga pecah.

"Bukannya sejak awal saya udah bilang kalau saya nggak akan mau menjalani pernikahan ini kalau hati saya tertaut pada perempuan lain. Isn't it enough, Num?"

Aku mengangguk-angguk usai menyeka air mata yang hendak keluar. "Mas yakin hati Mas udah nggak tertaut sama Kak Riyana? Bahkan setelah Mas meluk dia tadi sore?"

Kembali, Aku menangkap raut terkejut pada wajahnya yang semakin membuatku ingin menangis.

"Saya bisa jelasin." Suara Mas Akbar masih terdengar lembut dan tenang, sangat berbeda jauh denganku yang sudah meledak-ledak seperti gunung berapi.

"Jelasin apa?" Daguku terangkat.

"Jelasin kalau rasa itu masih tertinggal di hati Mas? Jelasin kalau Mas masih menyayangi Riyana sebesar dulu? Jelasin kalau Mas belum juga move on dari perempuan itu...."

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang