Bang Faris
Gimana kabar kamu, Dek?
Dahiku berkerut mendapat pesan tersebut. Nggak biasanya Bang Faris menanyakan kabarku seperti ini, apa lagi dengan kata-kata yang teramat sopan. Selama Aku menetap di Bandung saja ia sering kali menggunakan kalimat santai yang terdengar menyebalkan, seperti, 'Dek, kamu masih baik-baik aja 'kan? Kalau sakit ntar diperiksa aja, ya, jangan bilang-bilang sama Abang'.
Baik, kok. Tumben nanya-nanya. Nggak lagi cari muka 'kan?
Ck. Sombong amat kamu. Nanya baik-baik ini.
Gimana hubungan kamu sama Akbar? Keluarga baru kamu baik kan sama kamu?
Aku ber-oh ria dalam hati. Ternyata Bang Faris juga memedulikan pernikahanku. Aku kira ia akan menelantarkanku begitu saja setelah menyerahkanku pada Mas Akbar secara mendadak.
Keluarga Mas Akbar pada baik, kok, Bang. Hubungan Aku sama Mas Akbar juga baik, kok.
Udah ada perkembangan apa aja nih selama sebulan nikah? Kalau ada apapun yang bikin kurang nyaman soal pernikahan ini, langsung ngomong sama Abang aja.
Aku ngerasa cocok aja sama Mas Akbar. Kayaknya omongan Abang sama Bi Nina bener, deh.
Cie, keknya udah ada yang mulai suka nih sama Akbar.
Ih apaan, sih, Bang!
Suka apanya? Apa yang perlu Aku sukai dari Mas Akbar? Bang Faris inu terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Gak tau ya kalau sahabatnya yang sekarang menjadi suamiku itu benar-benar lelaki yang sangat menyebalkan, tapi berat Aku lepaskan. Aku enggan kehilangannya.
Gapapa, deh, Abang seneng dengernya. Artinya Abang emang nggak salah pilih calon, 'kan?
Emang nggak ada yang lebih dari Mas Akbar ya?
Mati-matian Aku berusaha menahan kalimat pembenaran terhadap ucapan Bang Faris agar tidak terlontar dari mulut ini. Berat rasanya hanya untuk mengakui bahwa Bang Faris memang tidak salah memilihkan seseorang untukku. Bersama Mas Akbar Aku merasa aman sekaligus merasa punya teman. Bersama Mas Akbar derai tawaku sering kali terdengar walau kami juga sering bertengkar.
Kalau kamu terus-terusan mencari orang yang sempurna, kamu nggak akan pernah menemukannya, Dek. Kalaupun ada orang yang sempurna di dunia ini, coba tanyakan pada dirimu sendiri. Apa kamu se-sempurna itu sampai pantas disandingkan dengan yang sempurna juga?
Perkataan Bang Faris menamparku secara tidak langsung. Aku sadar betul betapa diri ini tidak sempurna. Dan meminta untuk disandingkan dengan yang sempurna benar-benar sebuah kebodohan. Bang Faris benar, apa lagi yang kucari? Mas Akbar sudah cukup bagiku, dia bahkan mau menerimaku seutuhnya walau kami belum pernah berkenalan sebelumnya.
"Muka kamu bisa secepat itu berubah ya, Num? Tadi senyum, terus cemberut, sekarang murung gitu. Kenapa? Ada apa?" Lelaki itu sudah duduk di hadapanku, sorot matanya teduh.
"Eh, nggak. Lagi chattan sama Bang Faris aja." Aku mengukir senyum sembari mengamati garis wajahnya.
"Oh, yaudah." Sebelum Mas Akbar beranjak, Aku lebih dulu mencekal tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Wedding
Romance"Niatnya cari tunangan sewaan, eh tau-taunya malah dapet suami beneran." Kalimat itu sudah cukup mendeskripsikan kisah cinta dari Hanum Wardani. Di tengah-tengah pelariannya. Masa lalu kembali membawanya pada masalah rumit yang membuat ia dilema. Te...