UW-24

4.1K 294 12
                                    

Kejadian dini hari tadi membuat suasana di rumah menjadi awkward, terlebih antara Aku dan Bang Faris. Aku dan Mas Akbar sendiri bahkan tidak saling membuka suara satu sama lain setelah intimate moment yang tak sengaja dilihat oleh Bang Faris. Sejujurnya momen itu tidak akan menimbulkan perasaan canggung jika saja Bang Faris tidak tiba-tiba masuk ke dalam kamarku. Pun, momen tersebut terjadi atas ketidaksengajaan.

Sialnya, bukannya tutup mulut Bang Faris secara terang-terangan meledek kami berdua saat berada di meja makan. Lelaki itu juga memprovokasi istrinya hingga Mbak Dini ikut-ikutan mengejekku. Dan Aku beberapa kali menyanggah serta memberi penjelasan saking kesalnya mendengar tuduhan yang tak benar tersebut. Anehnya, Mas Akbar masih bisa bersikap santai saat menanggapi cibiran Bang Faris alih-alih merasa malu.

"Bukannya kita mau mempertontokan kemesraan. Salah kamu juga Ris yang main masuk tanpa ketok pintu. Lagian hal yang kayak gitu wajar lah, kamu kayak gak pernah berada di fase itu." Lelaki itu bahkan terkekeh di akhir kalimat di sela-sela memakan sandwich sebagai sarapan.

"Sebetulnya gue lupa kalau Hanum udah punya suami. Makanya gue main nyelonong gitu aja karena senter punya dia gue pinjem waktu itu. Agak khawatir juga karena dia takut gelap."

Lah, kelar masalah satu Bang Faris malah membongkar aibku.

"Pantesan waktu Aku buka laci nakas gak nemu senter sama sekali. Jadi, Abang toh yang pinjem." Aku berujar sambil melayangkan tatapan sinis ke arahnya.

"Ya maaf, kan waktu itu kamunya juga nggak ada di Jakarta. Jadi ya Abang main pinjem aja."

Jika Aku mengingat kapan terakhir kali Aku menginjakkan kaki ke Jakarta, kepalaku akan langsung merecall pada kejadian tiga tahun silam. Tepat saat Humaira dan Kak Adam menikah. Ternyata Aku bisa senekat dan sebetah itu pergi ke Bandung sampai tak pernah pulang selama tiga tahun lamanya hanya untuk menata hati yang sudah hancur tak berbentuk oleh luka tak kasat mata yang tak sengaja Aku buat. Giliran pulang, eh udah bawa gandengan. Sungguh takdir yang sangat mengejutkan.

"Hanum punya trauma sama kegelapan atau gimana?"

Untuk apa Mas Akbar bertanya lebih dalam tentang hal itu. Jangan-jangan dia mau menjadikan ketakutanku sebagai bahan ejekan nantinya.

"Nggak tahu tuh, tapi dia paling gak bisa di ruangan gelap sendirian. Parahnya dia bisa sampe nangis-nangis kalau nggak ada yang nemenin. Entah punya trauma atau nggak. Mungkin pernah berhadapan sama hantu, coba aja tanya sama orangnya langsung. Soalnya dia nggak pernah cerita." Ini sih jelas memojokkanku, menggambarkan diriku seolah Aku adalah manusia paling lemah di dunia. Padahal yang punya phobia sama kegelapan bukan cuma Aku doang.

"Apaan sih, Bang! Jangan nambah-nambahin kayak gitu lah." Dan Aku sungguh tak terima, pasalnya Aku tidak mau orang mengasihaniku saat mereka tahu kekuranganku. Rasanya teramat menyedihkan.

Bang Faris berdecak pelan, ia mengusap kasar noda kopi yang berada di sudut bibirnya."Faktanya emang kayak gitu, Dek. Lupa apa gimana? Dulu bahkan kamu sampe misuh-misuh gak jelas cuma gara-gara ditinggalin buat beli lilin."

Seharusnya Aku memang tidak protes sama sekali dan menurut saja. Nyatanya keputusanku malah membuat aib lainnya terbongkar. Aku jadi merasa tidak punya muka saat ini, apa lagi di hadapan Mas Akbar. Mau aku taruh di mana harga diriku yang sudah berceceran di lantai karena ulah Bang Faris. Kira-kira Mas Akbar akan memandangku jijik nggak ya?

"Yang penting sekarang nggak, deh, ya," kataku lalu nyengir kuda. Setidaknya Aku mulai berhasil mengatasi rasa takutku walau masih on progres.

"Yakin?" Mas Akbar menoleh ke arahku dengan kepala sedikit dimiringkan, juga sebuah senyum tipis yang tampak mencemooh. Di bawah meja kaki kirinya bahkan menyenggolku, mungkin dia berusaha mengingatkanku akan kejadian dini hari tadi.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang