"Cie yang rindu."
Suara bass yang familiar di telinga itu membuat seluruh tubuhku membeku. Aku mendongak dengan kedua mata membulat, tenggorokanku juga terasa kesat dan jantungku mendadak berhenti berdetak.
Jangan bilang dia....
"Coba ulang! Tadi kamu bilang apa? Aku... rindu Mas?"
Seluruh wajahku terasa memanas, bibirku mencebik sebal mendengar pria itu mengulangi ucapanku dengan nada yang dimiripkan sepertiku. Posisinya berada di belakangku dan Aku nggak sanggup menemui dia dalam situasi seperti ini, malas juga menunjukkan ekspresi wajahku karena kemungkaran besar lelaku itu akan kembali meledekku.
Tengsin bangett!
Aku berniat lari meninggalkannya saat langkah pria itu terdengar berderap mendekat. Aku merasakan sebuah tepukan pada bahu kananku. Masih dengan bibir mengerucut juga kedua pipi yang sudah dipastikan merah merona Aku pun berbalik badan. Seketika iris mataku menangkap sosok yang menjadi sumber kerinduanku.
Mas Akbar tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat, sorotnya teduh. Hanya dengan itu saja segala emosi dan perasaan yang tercampur aduk dua hari ini mendadak lenyap ke antah berantah, berganti dengan perasaan haru juga senang.
"Mas Akbar tuh emang cuek banget atau nggak sayang sih sama Aku?!" Sudah berapa lama pria ini di sini? Kenapa ia hafal segala gerutuanku tadi?!
Tanpa memedulikan ocehannya, Aku bergegas ke kasir untuk membayar beberapa buku yang sudah kubeli. Kemudian Aku keluar begitu saja dan meninggalkan lelaki itu. Rasanya Aku belum siap bertemu dengan Mas Akbar.
"Mau ke mana?"
Aku cukup terperanjat saat Mas Akbar sudah berhasil menyusulku ke parkiran.
"Pulang," jawabku cepat. Kedua kakiku terayun ke depan tanpa punya tujuan yang pasti. Ya pokoknya pulang!
Untuk kedua kalinya Mas Akbar menyusulku, kali ini pria tersebut sudah duduk di motornya. "Naik!"
"Gak mau!" Gengsiku terlalu tinggi untuk luluh begitu saja. Lebih dari itu Aku malu karena merasa tertangkap basah.
"Trus kamu mau pulang naik apa?"
"Ojol." Segera Aku mengeluarkan ponsel dari sling bag. Namun, belum sempat Aku mengaktifkannya, Mas Akbar keburu merebut ponselku.
Aku melayangkan pelototan padanya. "Balikin hp aku!"
"Udah malem. Gak baik naik ojol."
Suara lembut itu. Aku benar-benar merindukannya.
"Gapapa." Dan Aku masih keukeuh dengan keputusanku. Yang penting Aku bisa menghindar dari Mas Akbar, setidaknya untuk beberapa saat ke depan. Aku perlu menyiapkan rangkaian kata permohonan maaf kepadanya.
"Saya gak izinin kamu pulang dengan orang lain." Intonasi bicaranya berubah tegas, it means itu merupakan keputusan final darinya yang nggak bisa diganggu gugat.
"Ayo naik, sebelum keburu ujan."
"Ya lagian tau mendung kayak gini jemputnya malah pake motor!" Aku merutuki segala ucapan yang keluar dari mulutku barusan. Maaf, Mas. Aku nggak bermaksud kayak gitu.
"Saya mau ngebut biar gak keujanan di jalan, jangan lupa pegangan."
"Halah, modus!" Sedetik setelah itu rintik hujan mulai membasahi kami.
Mas Akbar hany terkekeh, lalu tangan kirinya menarik tangan kiriku untuk ia masukkan ke saku jaketnya. "Saya gak bohong, kan?"
Mau tak mau Aku memeluk Mas Akbar dengan erat. Baru setelahnya dia menaikkan kecepatan motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Wedding
Romance"Niatnya cari tunangan sewaan, eh tau-taunya malah dapet suami beneran." Kalimat itu sudah cukup mendeskripsikan kisah cinta dari Hanum Wardani. Di tengah-tengah pelariannya. Masa lalu kembali membawanya pada masalah rumit yang membuat ia dilema. Te...