UW-48

3K 267 36
                                    

Kak Zaki kecelakaan. Setelah mendapatkan kabar tersebut Mas Akbar bergegas ke rumah sakit menyusul Kak Riyana. Aku sempat meminta untuk ikut, tetapi, Mas Akbar menolak tegas karena saat itu sudah larut malam.

Semalaman Aku nyaris tidak bisa tertidur karena memikirkan Mas Akbar yang tak kunjung pulang, juga mengkhawatirkan Kak Zaki yang katanya mengalami kecelakaan cukup parah. Satu jam sebelum azan subuh berkumandang, Mas Akbar baru pulang dengan penampilan yang agak acak-acakan. Ada gurat lelah dan duka yang menghiasi wajahnya, namun, gerak tubuhnya tidak sekalut tadi malam.

"Kamu nggak usah khawatir, dia udah mendapatkan penanganan yang baik. Maaf karena saya biarin kamu tidur sendirian."

Hanya kalimat itu yang Mas Akbar ucapkan saat Aku bertanya tentang kondisi Kak Zaki, karena setelahnya lelaki itu jatuh tertidur usai menunaikan salat subuh. Sepertinya ia tidak tidur malam tadi. Anehnya kenapa orang yang pertama kali dihubungi Kak Riyana itu Mas Akbar, bukankah seharusnya keluarganya?

Aku mengenyahkan pertanyaan tersebut, tak ingin menambah dosa dari prasangka-prasangka  buruk yang mampir di kepala. Pasalnya Aku tidak mengetahui apapun soal kehidupan Kak Riyana dan Kak Zaki. Mungkin saja di waktu itu hanyalah Mas Akbar yang dapat dihubungi, mengingat kemarin sudah larut malam sekali.

"Mbak, nitip Shafira ya. Mau nyuci bentar." Sekitar jam setengah tujuh, Mbak Zahra menyerahkan Shafira kepadaku. Untung saat itu Aku sudah membersihkan badan dan beberes kamar.

"Ateu, Fira mau main sama Om." Di beberapa menit pertama Shafira terus merajuk karena ingin bermain dengan Mas Akbar sesaat setelah ia menemukan keberadaan lelaki itu. Tapi mana mungkin Aku membangunkan Mas Akbar.

"Iya, nanti Fira main sama Om kalau Omnya udah bangun tidur."

"Nggak mau, Fira mau mainnya sekarang!" Si kecil yang katanya tahun besok akan dimasukkan ke taman kanak-kanak itu kembali mengoceh bahkan setelah Aku membujuknya. Meski begitu pada akhirnya Shafira luluh setelah Aku mengajaknya untuk memetik bunga di halaman sekaligus menyiram tanaman-tanaman milik Bunda di sana.

"Fira mau ikut nyiram juga, Ateu." Bocah kecil itu berjinjit, berusaha mengambil selang air dari tanganku.

Mulanya Aku enggan membiarkan Shafira menyiram tanaman karena mungkin bocah cilik itu malah akan bermain-main air. Namun, karena tidak tega melihat ekspresi memelasnya Aku kemudian memberikan selang air tersebut dan mengawasinya serta memberi arahan. Setelah dipikir ulang, usia Shafira ini memang sedang aktif-aktifnya meng-eksplor sesuatu.

"Ateu, kenapa tanaman milik Nenek harus disiram? Mereka haus juga, kah?"

Aku tidak bisa menahan tawa mendengar pertanyaan yang agak absurd dari Shafira. "Iya, mereka haus. Sama kayak kita yang butuh minum biar badan kita bisa terus bugar. Kalau misalnya Shafira nggak minum, tubuh Shafira kerasa kayak gimana?"

Sengaja Aku jongkok dan mensejajarkan diri dengan Shafira. Gadis kecil itu terlihat berpikir sejenak usai mendapatkan pertanyaan yang Aku ajukan.

"Biasanya badan Fira suka lemes kalau lagi haus."

Senyumku melebar. "Nah, sama kayak Fira yang badannya suka lemes kalau lagi haus, tanaman juga sama. Kalau Shafira nggak nyiram mereka, mereka bisa layu, ujungnya mereka mati," tuturku lugas, berharap Shafira akan dapat memahaminya.

Aku menghela napas lega ketika Shafira mengangguk polos pertanda ia mengerti dengan apa yang kusampaikan. Wajah imut Shafira membuatkh gemas, sampai akhirnya Aku menguyel-uyel pipinya pelan. Kira-kira kalau Aku dan Mas Akbar punya anak nanti, wajahnya akan seperti apa ya? Akankah dia mirip denganku atau mungkin malah mirip dengan Mas Akbar.

Lamunanku pecah saat Shafira mengarahkan selang air itu ke arahku. Aku hanya bisa terbengong sesaat kemudian merasakan dingin yang menusuk pori-pori kulitku karena kini baju yang kukenakan sudah basah akibat ulah Shafira. Sementara itu Shafira malah tertawa nyaris terbahak-bahak melihatku yang kini sudah basah kuyup.

Unexpected WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang